Jalan-Jalan Masjid #3: Menjadi Santri di Kota Santri

By Padu Padan Kata - 12:38 AM

Cerita perjalanan ini merupakan cerita perjalanan yang dilakukan kurang lebih 2 tahun yang lalu, apabila ada ketidakakuratan dengan kondisi di lapangan mohon dimaklumi karena hanya ditulis seingat-ingat penulis. Selamat membaca!

Minggu, 6 Juli 2014 (Kudus)
Udara sejuk yang menyeruak dari kisi-kisi AC bus nampaknya sukses membawa saya terlelap setelah berpanas-panasan di Terminal Terboyo. Tadinya saya sempat terbangun ketika bus melewati Alun-Alun Demak, namun saya tidak tertarik untuk mengamati pemandangan di Kota Demak dan memutuskan untuk kembali terlelap. Ah ntar juga lewat lagi, batin saya.

Sekitar 2 jam kurang perjalanan dari Semarang, bus yang kami tumpangi akhirnya tiba di Kudus. Namun destinasi akhir kami, yakni Masjid Menara Kudus ternyata tidak dilewati oleh bus yang kami tumpangi sehingga harus menyambung dengan angkot menuju Jalan Sunan Kudus yang berdekatan dengan Masjid Menara Kudus.
Plang Jalan Menara. Saat itu memang sedang musim kampanye Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, jadi sepanjang Jalan Menara juga ramai dengan atribut Pilpres 2014.
Setelah sekitar 15-20 menit menempuh perjalanan dengan angkot, kami akhirnya tiba di persimpangan Jalan Menara dengan Jalan Sunan Kudus. Suasana khas pun langsung terasa ketika kami berjalan memasuki Jalan Menara. Sisi kanan kiri jalan dipenuhi toko-toko yang menjual beragam busana muslim dan oleh-oleh khas tanah suci seperti parfum, peci, kerudung hingga oleh-oleh khas Kudus, Jenang Kudus. Suasananya mirip dengan pasar oleh-oleh haji di Pasar Tanah Abang Jakarta, meskipun tidak seramai dan seriweuh di Pasar Tanah Abang. 

Namun kami tidak tertarik untuk berbelanja karena diantara kami memang tidak ada yang doyan berbelanja dan outfit kami sekiranya sudah cukup nyantri. Jadilah kami langsung merapat ke Masjid Menara Kudus.
Tampak luar Masjid Menara
Menurut situs sejuta umat, Wikipedia, Masjid Menara Kudus ini merupakan masjid yang dibangun pada tahun 1546 Masehi. Pembangunan masjid ini turut dipengaruhi oleh Sunan Kudus yang berperan sebagai penggagas dan pendiri Masjid Menara Kudus. Keunikan masjid ini terletak pada arsitektur masjid yang merupakan akulturasi dari kebudayaan agama Hindu dan Budha sehingga menciptakan warna tersendiri bagi Masjid Menara Kudus ini seperti misalnya menara masjid yang menjadi nama masjid ini. 

Menara masjid ini pun masih dijaga keutuhan dan kekokohannya layaknya bangunan-bangunan bersejarah lainnya. Pada saat kami berkunjung ke sana, menara masjid sedang dalam masa rehabilitasi sehingga tampak aslinya tidak dapat terlihat dengan baik. Saat ini Masjid Menara Kudus pun juga rutin menggelar tradisi-tradisi yang sudah ada sejak dulu, tidak terkecuali tradisi ketika bulan Ramadhan tiba.
Interior Masjid bagian depan. Kaca nako di jendela keren juga sih.
Gapura yang berada di dalam masjid dan empat pilar kayu masjid.
Azan ashar berkumandang tepat ketika kami melepas sendal. Seperti biasa, tidak ada agenda khusus ketika J2M ini. Oleh karena itu leyeh-leyeh menjadi pilihan kegiatan yang kami lakukan. 

Kok leyeh-leyeh mulu sih kerjaannya?

Ya gapapa sih, kan ga ngerusuh juga.

Saya yang berniat untuk menyegarkan tubuh dengan mandi. Sehabis berjemur di bawah matahari, memang mandi merupakan kenikmatan paripurna. Namun kamar mandi yang dicari rupanya tidak ada di area masjid. Tempat buang air kecil yang ada pun hanya berupa bilik-bilik kecil yang disekat di dekat tempat wudhu. Saya pun baru menyadari kalau masjid ini tidak terdapat kamar mandi. Kalau pun ada, adalah bilik kamar mandi yang disewakan oleh warga setempat. Alhasil niat bersih-bersih pun urung dilaksanakan dan diganti dengan sekaleng Axe Chocolate.

Gagal melaksanakan ritual bersih-bersih, saya pun berinisiatif menjelajah kawasan di sekitar Masjid Menara ini sendirian. Niatnya ingin mencari konter pulsa karena pulsa saya banyak terpakai untuk browsing rute-rute perjalanan. Sepanjang perjalanan mencari konter pulsa, saya mengamati keunikan pada bangunan kawasan ini, yakni sisi kiri-kanan jalan yang dibatasi pagar berupa tembok putih. Bangunan-bangunan di kawasan ini memang tidak terlalu terlihat secara visual karena pagar menutupi hampir sebagian bangunan sehingga hanya terlihat pucuk-pucuk dari masing-masing bangunan. 

Pagar (atau tembok tepatnya) ini mengingatkan saya pada kawasan Kraton Yogyakarta, tepatnya di Jalan Rotowijayan yang di kanan-kiri jalannya dibatasi oleh tembok tinggi berwarna putih. Sedikit-sedikit, mirip juga sih, walau buat keramaiannya masih lebih ramai di Masjid Menara Kudus daripada di Jalan Rotowijayan.
Suasana Jalan Menara sebelah utara yang tidak terlalu padat dengan aktivitas jual beli oleh-oleh haji.
Rutinitas malam hari dimulai seperti biasa. Buka puasa, shalat maghrib, menunggu isya, shalat isya dan tarawih berjamaah. Bukan Jalan-Jalan Masjid namanya kalau tidak menemukan keunikan.

Apabila normalnya shaf (barisan dalam shalat) harus rapat serta lurus dan jamaah memenuhi barisan terdepan terlebih dahulu, namun tidak dengan yang saya temui di Masjid Menara. Saya memperhatikan ketika shalat berjamaah, tidak hanya satu-dua, namun cukup banyak jamaah yang berada di bagian belakang masjid layaknya shalat secara individu, padahal kondisi saat itu sedang salat berjamaah. Lah kok? 

Hingga saat ini, saya pun masih belum menemukan jawaban dari keunikan ini. Saya pun tetap menganggapnya sebagai kearifan lokal yang (mungkin) belum dapat saya pahami.

Agenda makan malam hari ini dijadikan kami sebagai ajang untuk mencoba mencicipi kuliner khas Kudus. Sedari sore tadi, kami sudah mengintip-ngintip warung tenda Sate Kerbau yang bersebelahan dengan Masjid Menara Kudus. Dengar-dengar, sate kerbau ini merupakan salah satu kuliner khas Kudus. Alhasil seusai Tarawih kami bergegas mengepak barang-barang dan bergerak menuju warung sate kerbau tersebut. 

Tiba di warung sate kerbau, kami disambut oleh mbak-mbak penjual dengan ramah. Setusuknya 4 ribu mas,” ucap mbak-mbak penjual sate dengan ramah ketika kami menanyakan harga.

Asemik! Kami pun saling berpandangan. Setusuk sate yang dihargai 4 ribu di luar prediksi kami yang tidak mengira harganya setinggi (atau tepatnya semahal) itu. Setelah melakukan perundingan singkat, akhirnya rencana berkuliner ria di warung sate kerbau pun pupus. Sialnya, beberapa saat setelah kami pulang dari J2M dan sudah mulai melupakan sate kerbau itu, salah satu teman kampus saya dengan bangganya menceritakan pengalamannya mencicipi sate kerbau ketika berjalan-jalan ke Kudus.

Namun mencari makan di daerah Masjid Menara bukanlah hal yang sulit. Kawasan yang padat dengan permukiman warga dan ramai oleh santri menjadi daya tarik bagi pedagang-pedagang makanan untuk membuka tempat makan. Kami yang berniat menuju alun-alun Kota Kudus pun memilih mencari makan dekat dengan persimpangan Jalan Kudus dan Jalan Menara yang sejalan dengan rute perjalanan kami. Kami  mendapati satu warung kecil yang menjual beragam nasi rames, tidak jauh dari persimpangan Jalan Kudus dan Jalan Menara. Harganya cukup murah dan mengenyangkan, meskipun bukan makanan khas Kudus.
Salah satu tukang gorengan yang meramaikan jagat perkulineran Kudus.
Sehabis mengisi perut yang keroncongan, kami beranjak untuk berjalan-jalan ke pusat kota Kudus, Alun-Alun Kudus. Lokasi Alun-Alun Kudus ini hanya segaris lurus, menyusuri Jalan Sunan Kudus menuju timur. Jaraknya pun kalau dilihat di Google Maps (ketika saya membuat tulisan ini) hanya 1.5 km lebih sedikit. Maka berangkatlah kami menuju Alun-alun Kudus.

Setelah berjalan kurang lebih 30-45 menit, tibalah kami di Alun-Alun Kudus. Sama seperti alun-alun pada umumnya, Alun-Alun Kudus ini adalah lapangan terbuka yang lumayan luas. Malam itu suasana cukup ramai karena Masjid Agung Kudus yang berada di dekat alun-alun tengah mengadakan acara Tausyiah. Kami tidak mempunyai agenda apa-apa di Alun-Alun Kudus ini, jadilah kami hanya duduk-duduk saja di pinggir alun-alun sambil mengamati beberapa anak-anak di lapangan tengah asyik berebut bola.
Alun-alun Kudus. Di depannya ada Mall Kudus.
Malam semakin larut, kami memutuskan untuk mencari tempat beristirahat. Masjid Agung Kudus yang berada di dekat alun-alun menjadi incaran kami untuk beristirahat. Terlebih badan kami sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Minta dikasih tidur. Kebetulan juga acara Tausyiah yang tadi berlangsung, sudah usai. 

Namun baru sampai di gerbang masjid, kami dicegat seorang penjaga keamanan. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kami, penjaga keamanan tadi langsung paham.

“Wah mas, di sini ga bisa dipake buat tidur mas. Kalau malam dikunci soalnya mas. Kalau mau menginap, di penginapan aja mas,” tutur bapak-bapak penjaga keamanan. Kalau mau menginap di penginapan aja mas. Boleh dimodalin pak kalau begitu?

Gagal rebahan di Masjid Agung Kudus, kami segera berbalik arah menuju Masjid Menara. Namun belum sampai setengah perjalanan ke Masjid Menara, langkah kami mulai berat. Satu per satu skuad J2M pun mulai menyerah.

Untungnya, dalam perjalanan menuju Alun-Alun Kudus, saya memperhatikan ada sebuah papan petunjuk menuju masjid kecil yang berada di salah satu gang di Jalan Sunan Kudus. Gayung bersambut, teman-teman yang lain ternyata setuju untuk beristirahat di masjid kecil tersebut.
Lokasi masjid tempat kami beristirahat, fotonya gaada sih jadinya ambil dari Google Earth
Sesampainya di masjid, kami langsung bersiap-siap untuk beristirahat. Saya pun kembali sibuk dengan pasangan kombo jaket-sarung untuk menemani saya tidur. Sama seperti ketika di Masjid Raya Semarang, ruang utama masjid ini dikunci sehingga kami tidak dapat tidur di dalam masjid. Namun karena kadung lelah, kami pun tidak peduli dan segera memosisikan diri di selasar masjid.

Perjalanan hari kedua ditutup dengan buaian dengkuran halus dan raungan knalpot motor yang sesekali melintas.

Total Pengeluaran:
-       Angkot menuju Masjid Menara Kudus : Rp 3.000-5.000 (lupa pasnya berapa, tapi sekitar segitu)
-       Beli pulsa: Rp 11.000-12.000
-       Makan Malam: Rp 10.000
Total: Rp 24.000 – 27.000 ~ Rp 27.000
Total Hari Kedua: Rp 76.000

  • Share:

You Might Also Like

0 comments