Bukan gambar asli si angkot, tapi ini angkot dengan mobil dan rute yang sama (kredit foto iyaa.com) |
Jumat, 20 Januari 2017 pukul 8.00
Angkot K-56 yang
membawaku dari rumah menuju Cawang berhenti sempurna di bawah jembatan
penyeberangan UKI. Melanggar? Sudah pasti.
Tak jauh, mobil berkelir
biru muda tujuan Jatinegara tengah mengantre kemacetan yang sering terjadi
ketika jam sibuk. Ya meskipun demikian, macet ini juga turut disumbangkan angkot
K-56 yang berhenti ngaco gara-gara
teriakan “jembatan depan ya bang” seorang penumpang yang tidak ingin berhenti
jauh-jauh dari jembatan penyeberangan. Aku pun melambaikan tangan.
Mobil berkelir biru muda
itu berhenti tidak jauh dariku. Saat itu hanya ada dua penumpang yang duduk di
kursi belakang. Ingin menikmati angkot lebih leluasa, aku pun membuka pintu
depan dan duduk manis di jok depan samping pengemudi. Cawang pagi itu memang
agak macet, tapi masih dalam batas wajar.
"Wah ini motor
makin banyak aje ye, puyeng dah ngeliatnya," ujar si pengemudi menunjuk
pada kerumunan motor-motor yang memenuhi sisi kiri jalan. Si pengemudi ini
adalah bapak-bapak berusia kurang lebih 50-an tahun, ditandai dengan kerutan di
wajahnya dan janggut yang mulai beruban
"Iya pak, wah mana
sekarang ojek onlen (online –red) makin rame lagi ya," sahut
mas-mas penumpang yang duduk di belakang pengemudi. Dari nada bicaranya,
kedengarannya si penumpang dan si pengemudi ini sudah mengobrol banyak hal. Aku
pun memilih untuk tidak ikut bicara dan hanya mengamati kemacetan di lampu
merah Cawang yang semakin mengular.
Lampu berganti menjadi
hijau. Namun kendaraan yang melintas di depan angkot kami masih memenuhi sebagian
persimpangan akibat macet. Adegan klakson-klaksonan pun tidak terhindarkan.
Beruntung, petugas polisi segera mengatasi keruwetan kendaraan. Angkot kami pun
kembali melaju.
"Sekarang ojek-ojek
sama taksi-taksi onlen makin banyak aja ya bang. Mana murah lagi ya. Kemaren
aja sodara saya dari Jatinegara Stasiun ke Cawang bertiga naik taksi onlen cuma
18 (ribu rupiah -red)," tutur si pengemudi lagi. Si penumpang yang duduk
di belakang tidak menyahut.
"Eh iya pak,"
ujarku refleks. "Murah gini mesti banyak pak yang naik, mana harganya kan
juga ga berubah-ubah. Coba aja bandingin sama taksi biasa pak. Wah kalo macet
argonya jalan terus" sambil saya menunjuk taksi biru berlogo burung yang
berada di depan angkot kami
"Wah iya bang, sepi
sekarang taksi-taksi begituan. Banyak mangkalnya daripada yang narik. Tapi kan
perusahaannya udah gede. Ya gede juga lah untungnya," sahut si pengemudi.
Aku pun hanya tertawa mendengar logat betawi si pengemudi
"Iya lah pak, lah
itu aja udah banyak mobilnya. Mana tanahnya buat bikin pool kan dimana-mana juga," ujarku.
Pembicaraanku tadi
menutup obrolan singkat kami. Mobil pun melaju membawaku ke Jalan Ahmad Yani atau
orang-orang senang menyebutnya Jalan Bypass karena jalan tol yang
berada tepat di atas jalan.
Aku sendiri tidak asing
dengan jalan layang yang menjadi masterpiece
Sosrobahu alm. Tjokorda Raka Sukawati ini. Perjalanan komuter selama 6 tahun,
ketika bersekolah di salah satu SMP dan SMA di bilangan Rawamangun, membuatku
fasih dengan kawasan ini.
"Ini rame-rame
ojek-ojek sama taksi-taksi onlen gini bikin angkot-angkot kayak kita-kita ini
sepi sewa nih," ujarnya membuka percakapan.
Sewa ini merujuk pada
penumpang yang naik di angkot. Karena pada dasarnya ketika ada penumpang di
dalam angkot, maka penumpang “menyewa” kursi di angkot. Maka dari itu banyak
kernet-kernet yang suka teriak “sewa” ketika ada penumpang ingin naik.
"Gimana tuh
pak?" selidikku.
"Ya iya, ini saya
aja narik dari Pasar Rebo sampe UKI baru dapet tiga sewa. Makin sepi dah
hari-hari gini. 2018 bangkrut kali nih angkot-angkot padaan," katanya.
Wah sesi curhat nih, batinku.
"Iya pak mau gimana
lagi, ini soalnya ojek-ojek onlen sekarang emang murah banget. Mana cepet lagi
yak," kataku.
"Wah iya bang, ini
aja saya setoran kadang-kadang masih kurang. Ini temen-temen aja banyak tuh
yang masih ngutang gara-gara setoran kurang sama bos. Malah ada temen saya yang
nyampe utang sejuta ama bos," katanya masih dengan logat-logat betawi.
"Emang setoran
sehari berapa bang?" tanyaku lagi.
"Yaa 120 (ribu)
lah. Belom lagi nanti dipotong bensin sama yang lain-lain. Dicatet sama bos
kalo setoran kita kurang. Misal kurang 20 (ribu), ya ditulis lah 'kurang 20'
sama si bos" katanya.
Mendekati Pasar Prumpung
atau Pasar Gembrong, lalu lintas kembali tersendat. Si pengemudi dengan entengnya
menyapa pengemudi angkot yang berhenti tepat di sebelah angkot kami. Angkot
dengan rute yang sama, hanya saja penumpangnya lebih sedikit.
"Woi sepi ni
ye," ejek si pengemudi sambil tertawa. Edan, kurang ajar juga nih
si sopir.
Tidak terdengar balasan
dari pengemudi angkot lainnya karena angkot kami kembali berjalan dan
meninggalkan angkot yang satunya setelah lalu lintas sedikit terurai. Kami pun
melanjutkan obrolan.
"Kalo mau untung
narik angkot, ga bisa punya angkot satu ato (atau) dua doang, kudu sepuluh kalo
bisa," katanya.
"Lah emang ini
angkot punya seorang-seorangan, pak?" tanyaku.
"Laiya bang. Kalo
angkot gini punya seorang-seorang, ini bos saya aja ada 10 angkot."
jawabnya santai.
"Emang kenapa pak
kalo cuma satu ato dua doang?" tanyaku lagi.
"Bangkrut bang kalo
satu ato dua doang. Kalo 10 biji kan enak, rusak satu sembilannya masih bisa
jalan hehe" katanya sambil terkekeh.
"Haha iya pak,"
balasku. Sepuluh kurang satu memang hasilnya sembilan.
Setelah itu kami pun
tidak berbicara lagi hingga memasuki Jalan Raya Bekasi Barat, berbelok kiri
dari Jalan Ahmad Yani. Memasuki kawasan Stasiun Jatinegara, si penumpang yang
tadi duduk di belakang angkat bicara.
"Pak saya nanti
turun di stasiun ya," kata si penumpang.
"Sini aja mas,
nanti nyebrang terus jalan aja ke stasiunnya," jelas si pengemudi.
"Gausah pak, depan
aja biar ga kejauhan,"
"Lah mas di sana
dipager (pagar) pak, kagak bisa lewat," kataku ikut angkat bicara.
"Oh yaudah pak di
sini aja," katanya sambil tergopoh-gopoh keluar dari angkot.
Di belakang, sejumlah
kendaraan sudah mengklakson berkali-kali. Minta angkot kami maju. Iye
sabar napa, batinku. Kami pun melanjutkan pembicaraan.
"Emang kalo narik
biasanya dari jam berapa sampe jam berapa pak?" tanyaku.
"Ya saya kalo narik
dari jam setengah 4 (pagi) sampai jam 12-an lah. Nanti gantian sama temen
saya," katanya
"Ini nanti balik
lagi ke Pasar Rebo apa gimana pak?"
"Enggak lah, lagi
sepi sewanya. Ambil pendek-pendek aja deh daripada sepi"
Pendek-pendek yang
dimaksud si pengemudi itu adalah mengambil rute dengan jarak pendek dan tidak
sesuai dengan rute aslinya. Misalnya rute yang si pengemudi jalani adalah
Jatinegara - PGC - Gandaria, maka si pengemudi cuma mengambil rute Jatinegara -
PGC lalu balik lagi sampai si pengemudi merasa setoran sudah mulai terkumpul.
"Nah tuh liat aja
pada kosong kan mobilnya," tunjuknya pada tiga angkot berkelir biru dengan
rute yang sama ketika kami mengantre di lampu merah persimpangan Jalan
Jatinegara Timur."Ya makanya mending saya ambil pendek-pendek aja atau
ngopi-ngopi dulu sama temen-temen lainnya daripada sewa kosong."
Pemberhentianku untuk
menuju tempat tujuanku tidak jauh dari lampu merah persimpangan Jalan
Jatinegara Timur. Sesaat setelah angkot melaju, aku pun berkata pada si
pengemudi sembari menunjuk tempat pemberhentian yang kukehendaki.
"Pak setop disana
ya pak," kataku
"Oh disana,
oke" katanya sambil mengemudikan si angkot. Di samping kiri angkot kami,
sebuah bajaj biru yang sok-sokan ingin menyalip kami hampir terserempet.
Untungnya si bajaj cepat mengerem.
"Ini ya pak,"
kataku sembari menyerahkan dua lembar uang dua ribuan dan sekeping 500-an.
"Yo makasih ya
bang, sahut si pengemudi.
Aku pun tiba di
Jatinegara.
0 comments