Setoran

By Padu Padan Kata - 10:29 PM

Bukan gambar asli si angkot, tapi ini angkot dengan mobil dan rute yang sama (kredit foto iyaa.com)

Jumat, 20 Januari 2017 pukul 8.00
Angkot K-56 yang membawaku dari rumah menuju Cawang berhenti sempurna di bawah jembatan penyeberangan UKI. Melanggar? Sudah pasti.

Tak jauh, mobil berkelir biru muda tujuan Jatinegara tengah mengantre kemacetan yang sering terjadi ketika jam sibuk. Ya meskipun demikian, macet ini juga turut disumbangkan angkot K-56 yang berhenti ngaco gara-gara teriakan “jembatan depan ya bang” seorang penumpang yang tidak ingin berhenti jauh-jauh dari jembatan penyeberangan. Aku pun melambaikan tangan.

Mobil berkelir biru muda itu berhenti tidak jauh dariku. Saat itu hanya ada dua penumpang yang duduk di kursi belakang. Ingin menikmati angkot lebih leluasa, aku pun membuka pintu depan dan duduk manis di jok depan samping pengemudi. Cawang pagi itu memang agak macet, tapi masih dalam batas wajar.

"Wah ini motor makin banyak aje ye, puyeng dah ngeliatnya," ujar si pengemudi menunjuk pada kerumunan motor-motor yang memenuhi sisi kiri jalan. Si pengemudi ini adalah bapak-bapak berusia kurang lebih 50-an tahun, ditandai dengan kerutan di wajahnya dan janggut yang mulai beruban

"Iya pak, wah mana sekarang ojek onlen (online –red) makin rame lagi ya," sahut mas-mas penumpang yang duduk di belakang pengemudi. Dari nada bicaranya, kedengarannya si penumpang dan si pengemudi ini sudah mengobrol banyak hal. Aku pun memilih untuk tidak ikut bicara dan hanya mengamati kemacetan di lampu merah Cawang yang semakin mengular.

Lampu berganti menjadi hijau. Namun kendaraan yang melintas di depan angkot kami masih memenuhi sebagian persimpangan akibat macet. Adegan klakson-klaksonan pun tidak terhindarkan. Beruntung, petugas polisi segera mengatasi keruwetan kendaraan. Angkot kami pun kembali melaju.

"Sekarang ojek-ojek sama taksi-taksi onlen makin banyak aja ya bang. Mana murah lagi ya. Kemaren aja sodara saya dari Jatinegara Stasiun ke Cawang bertiga naik taksi onlen cuma 18 (ribu rupiah -red)," tutur si pengemudi lagi. Si penumpang yang duduk di belakang tidak menyahut.

"Eh iya pak," ujarku refleks. "Murah gini mesti banyak pak yang naik, mana harganya kan juga ga berubah-ubah. Coba aja bandingin sama taksi biasa pak. Wah kalo macet argonya jalan terus" sambil saya menunjuk taksi biru berlogo burung yang berada di depan angkot kami

"Wah iya bang, sepi sekarang taksi-taksi begituan. Banyak mangkalnya daripada yang narik. Tapi kan perusahaannya udah gede. Ya gede juga lah untungnya," sahut si pengemudi. Aku pun hanya tertawa mendengar logat betawi si pengemudi

"Iya lah pak, lah itu aja udah banyak mobilnya. Mana tanahnya buat bikin pool kan dimana-mana juga," ujarku.

Pembicaraanku tadi menutup obrolan singkat kami. Mobil pun melaju membawaku ke Jalan Ahmad Yani atau orang-orang senang menyebutnya Jalan Bypass karena jalan tol yang berada tepat di atas jalan.

Aku sendiri tidak asing dengan jalan layang yang menjadi masterpiece Sosrobahu alm. Tjokorda Raka Sukawati ini. Perjalanan komuter selama 6 tahun, ketika bersekolah di salah satu SMP dan SMA di bilangan Rawamangun, membuatku fasih dengan kawasan ini.

"Ini rame-rame ojek-ojek sama taksi-taksi onlen gini bikin angkot-angkot kayak kita-kita ini sepi sewa nih," ujarnya membuka percakapan.

Sewa ini merujuk pada penumpang yang naik di angkot. Karena pada dasarnya ketika ada penumpang di dalam angkot, maka penumpang “menyewa” kursi di angkot. Maka dari itu banyak kernet-kernet yang suka teriak “sewa” ketika ada penumpang ingin naik.

"Gimana tuh pak?" selidikku.

"Ya iya, ini saya aja narik dari Pasar Rebo sampe UKI baru dapet tiga sewa. Makin sepi dah hari-hari gini. 2018 bangkrut kali nih angkot-angkot padaan," katanya.

Wah sesi curhat nih, batinku.

"Iya pak mau gimana lagi, ini soalnya ojek-ojek onlen sekarang emang murah banget. Mana cepet lagi yak," kataku.

"Wah iya bang, ini aja saya setoran kadang-kadang masih kurang. Ini temen-temen aja banyak tuh yang masih ngutang gara-gara setoran kurang sama bos. Malah ada temen saya yang nyampe utang sejuta ama bos," katanya masih dengan logat-logat betawi.

"Emang setoran sehari berapa bang?" tanyaku lagi.

"Yaa 120 (ribu) lah. Belom lagi nanti dipotong bensin sama yang lain-lain. Dicatet sama bos kalo setoran kita kurang. Misal kurang 20 (ribu), ya ditulis lah 'kurang 20' sama si bos" katanya.

Mendekati Pasar Prumpung atau Pasar Gembrong, lalu lintas kembali tersendat. Si pengemudi dengan entengnya menyapa pengemudi angkot yang berhenti tepat di sebelah angkot kami. Angkot dengan rute yang sama, hanya saja penumpangnya lebih sedikit. 

"Woi sepi ni ye," ejek si pengemudi sambil tertawa. Edan, kurang ajar juga nih si sopir.

Tidak terdengar balasan dari pengemudi angkot lainnya karena angkot kami kembali berjalan dan meninggalkan angkot yang satunya setelah lalu lintas sedikit terurai. Kami pun melanjutkan obrolan.

"Kalo mau untung narik angkot, ga bisa punya angkot satu ato (atau) dua doang, kudu sepuluh kalo bisa," katanya.

"Lah emang ini angkot punya seorang-seorangan, pak?" tanyaku.

"Laiya bang. Kalo angkot gini punya seorang-seorang, ini bos saya aja ada 10 angkot." jawabnya santai.

"Emang kenapa pak kalo cuma satu ato dua doang?" tanyaku lagi.

"Bangkrut bang kalo satu ato dua doang. Kalo 10 biji kan enak, rusak satu sembilannya masih bisa jalan hehe" katanya sambil terkekeh.

"Haha iya pak," balasku. Sepuluh kurang satu memang hasilnya sembilan.

Setelah itu kami pun tidak berbicara lagi hingga memasuki Jalan Raya Bekasi Barat, berbelok kiri dari Jalan Ahmad Yani. Memasuki kawasan Stasiun Jatinegara, si penumpang yang tadi duduk di belakang angkat bicara.

"Pak saya nanti turun di stasiun ya," kata si penumpang.

"Sini aja mas, nanti nyebrang terus jalan aja ke stasiunnya," jelas si pengemudi.

"Gausah pak, depan aja biar ga kejauhan,"

"Lah mas di sana dipager (pagar) pak, kagak bisa lewat," kataku ikut angkat bicara.

"Oh yaudah pak di sini aja," katanya sambil tergopoh-gopoh keluar dari angkot.

Di belakang, sejumlah kendaraan sudah mengklakson berkali-kali. Minta angkot kami maju. Iye sabar napa, batinku. Kami pun melanjutkan pembicaraan.

"Emang kalo narik biasanya dari jam berapa sampe jam berapa pak?" tanyaku.

"Ya saya kalo narik dari jam setengah 4 (pagi) sampai jam 12-an lah. Nanti gantian sama temen saya," katanya

"Ini nanti balik lagi ke Pasar Rebo apa gimana pak?"

"Enggak lah, lagi sepi sewanya. Ambil pendek-pendek aja deh daripada sepi"

Pendek-pendek yang dimaksud si pengemudi itu adalah mengambil rute dengan jarak pendek dan tidak sesuai dengan rute aslinya. Misalnya rute yang si pengemudi jalani adalah Jatinegara - PGC - Gandaria, maka si pengemudi cuma mengambil rute Jatinegara - PGC lalu balik lagi sampai si pengemudi merasa setoran sudah mulai terkumpul.

"Nah tuh liat aja pada kosong kan mobilnya," tunjuknya pada tiga angkot berkelir biru dengan rute yang sama ketika kami mengantre di lampu merah persimpangan Jalan Jatinegara Timur."Ya makanya mending saya ambil pendek-pendek aja atau ngopi-ngopi dulu sama temen-temen lainnya daripada sewa kosong."

Pemberhentianku untuk menuju tempat tujuanku tidak jauh dari lampu merah persimpangan Jalan Jatinegara Timur. Sesaat setelah angkot melaju, aku pun berkata pada si pengemudi sembari menunjuk tempat pemberhentian yang kukehendaki.

"Pak setop disana ya pak," kataku

"Oh disana, oke" katanya sambil mengemudikan si angkot. Di samping kiri angkot kami, sebuah bajaj biru yang sok-sokan ingin menyalip kami hampir terserempet. Untungnya si bajaj cepat mengerem.

"Ini ya pak," kataku sembari menyerahkan dua lembar uang dua ribuan dan sekeping 500-an.

"Yo makasih ya bang, sahut si pengemudi.

Aku pun tiba di Jatinegara.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments