Jalan-Jalan Masjid #1: Sebuah Perjalanan

By Padu Padan Kata - 5:05 PM

Cerita perjalanan ini merupakan cerita perjalanan yang dilakukan sekitar tahun 2014 lalu. Apabila ada ketidakakuratan dengan kondisi di lapangan mohon dimaklumi karena hanya ditulis seingat-ingat saya. 

Sabtu, 5 Juli 2014 
(Jakarta – Semarang – Masjid Raya Semarang – Masjid Agung Jawa Tengah)

Pagi-pagi sekali sekitar pukul 6 saya sudah berada peron 1 Stasiun Gambir. Kereta Argo Muria yang akan membawa saya ke Stasiun Tawang Semarang memang berangkat dengan jadwal yang relatif pagi, yakni pukul 07.00. Maka dari itu selepas sahur dan menunaikan shalat subuh, saya bergegas menuju Stasiun Gambir setelah berpamitan dengan kedua orang tua saya dan kakak saya. 

Peron 1 Stasiun Gambir pada saat itu tidak terlalu ramai, pada beberapa bagian malah hanya dipenuhi oleh porter-porter yang menunggu kedatangan kereta malam yang berangkat dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Sembari menunggu kereta yang tengah dalam perjalanan menuju Stasiun Gambir, saya mencoba menangkap suasana kegiatan di stasiun melalui lensa mini Canon Powershot A580. Bukan kamera yang lengkap dengan segala fitur dan tetek bengek memang, namun cukup mampu menangkap dengan baik kegiatan-kegiatan di dalam stasiun.
Siluet Gereja St. Immanuel dari Peron Stasiun Gambir
Sekitar pukul 06.20 kereta yang akan saya tumpangi tiba di Stasiun Gambir. Saya bergegas masuk dan langsung duduk di dalam kereta. Waktu menunjukkan tepat pukul 07.00 ketika PPKA meniupkan peluit melengking khas perjalanan dengan kereta api dan masinis yang berada di lokomotif membunyikan Semboyan 35. Perjalanan dimulai!
Perjalanan kali ini merupakan perjalanan yang sudah dijadwalkan saya dengan keempat teman saya (Deni, Wawan, Alan dan Ardi) sebelum liburan semester genap tiba. Tujuan utamanya adalah menyambangi masjid-masjid yang berada di Pantai Utara Jawa yakni Masjid Raya Semarang dan Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang, Masjid Menara Kudus di Kudus, Masjid Agung Demak di Demak, dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon. 

Oiya, khusus untuk destinasi terakhir, Cirebon, destinasi ini baru ditentukan secara aklamasi ketika kami sampai di Semarang. Libur semester genap yang berada tepat pada bulan Ramadhan tidak menyurutkan niat traveller jadi-jadian ini. Padahal saat itu kemarau tengah berada di puncak-puncaknya dan kalau tidak kuat iman, puasa bisa jadi taruhannya.

Jalan-Jalan Masjid (J2M) ini juga menjadi jalan-jalan saya pertama kali dalam mengunjungi kota-kota tokoh-tokoh Wali Songo. Terkecuali Semarang, ketiga kota-kota tujuan tersebut merupakan kota-kota dimana tokoh-tokoh Wali Songo menyebarkan ajaran Islam. Sunan Kudus di Kudus, Sunan Kalijaga di Demak, dan Sunan Gunungjati di Cirebon. Sempat terbesit di pikiran, ini nanti akomodasi dan lain-lainnya bagaimana ya? 

Namun nampaknya teman-teman yang lain sudah memiliki rencana untuk J2M ini. “Kita tidurnya ntar di masjid aja. Kan puasa, masjid-masjid pasti buka kok,” ujar Alan. Rencana ini pun diamini teman-teman yang lainnya (tanpa Ardi karena Ardi baru bergabung H-1 keberangkatan). Hmm tidur di masjid ya? Tentu hal ini akan menjadi pengalaman menarik ketika merasakan aura Ramadhan secara berbeda di tengah masyarakat yang masih kental akan tradisi luhur.
***
Setelah 6 jam perjalanan Kereta Api Argo Muria yang saya tumpangi tiba di Stasiun Semarang Poncol, pemberhentian terakhir kereta sebelum perjalanan berakhir di Stasiun Semarang Tawang. Sepanjang perjalanan tadi saya kebanyakan menghabiskan waktu untuk tidur dan melihat pemandangan beberapa saat sebelum kereta api tiba di Semarang. Rel kereta yang bersisian langsung dengan Laut Jawa tentu menjadi hal baru bagi saya yang baru pertama kali bepergian ke Semarang dengan kereta api. 

Sebenarnya saya bisa turun di Stasiun Semarang Tawang ataupun Stasiun Semarang Poncol, namun Deni, si warga lokal, menyarankan saya untuk turun di Stasiun Semarang Poncol. Setibanya di stasiun saya langsung keluar untuk menuju titik temu saya dengan teman-teman saya di Masjid Raya Semarang di kawasan Simpang Lima Semarang. Alan, Wawan, dan Ardi sudah berangkat dari Yogyakarta dengan menggunakan bus sekitar pukul 10 sehingga kurang lebih akan tiba di Semarang pukul 2 atau 3. Deni yang satu-satunya warga asli (Kabupaten) Semarang memilih untuk berangkat dari rumahnya di Ungaran menuju ke Simpang Lima. Saya pun memilih menggunakan angkot untuk menuju Simpang Lima.

Setelah bertanya pada penduduk sekitar Stasiun Poncol bagaimana untuk menuju Simpang Lima dengan menggunakan angkot, saya pun menyetop angkot yang menuju Simpang Lima dan duduk manis sepanjang perjalanan. Tidak banyak penumpang yang naik pada saat itu. Sekitar 20 menit saya akhirnya tiba di Simpang Lima. “Suwun nggih pak,” sembari menyerahkan dua lembar uang dua ribu rupiah. 
Kawasan Simpang Lima Semarang
Kawasan Simpang Lima merupakan salah satu pusat kegiatan di Kota Semarang. Seperti namanya, Simpang Lima ini merupakan pertemuan lima jalan utama di Kota Semarang sehingga pada siang sampai malam hari kawasan ini selalu hidup. Keberadaan bangunan-bangunan pertokoan dan bangunan pemerintah yang berada di sekitar Simpang Lima pun juga menambah keramaian yang ada di Simpang Lima. 

Simpang Lima saat itu panas sekali. Matahari nampaknya sedang senang-senangnya nangkring di langit. Oleh karena itu saya bergegas masuk ke dalam masjid untuk segera menunaikan shalat Dzuhur dan berleyeh-leyeh sembari menunggu teman-teman saya tiba.

Masjid Raya Baiturrahman Semarang merupakan masjid yang berada di Simpang Lima Semarang. Masjid ini didirikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1968 dan selesai dibangun pada 1974. Saya sendiri tidak paham terkait gaya arsitektur ataupun hal-hal lainnya tentang bangunan ini, namun masjid ini sangat nyaman dan pada saat saya sambangi cukup ramai oleh masyarakat yang ingin beribadah. Tidak hanya untuk beribadah, masjid ini pun juga cukup nyaman untuk beristirahat. Buktinya di sudut masjid, banyak jamaah masjid yang terlelap pulas. Saya pun jadi membayangkan malam hari nanti ketika bermalam di masjid ini. Hmmm
Interior Masjid Raya Baiturrahman Semarang
Sekitar pukul setengah 3, Alan, Wawan dan Ardi pun tiba di Masjid Raya Semarang. Tak lama Deni pun tiba dengan Supra 125-nya. Kedatangan Deni dengan Supra 125-nya membuat kami bingung, sebab kami berencana menggunakan transportasi umum untuk menuju kota-kota tujuan. 

“Ah tenang, gapapah nanti aku titipin motornya aja,” ujar Deni, yang setelah 2 hari bepergian mulai khawatir dengan keberadaan Supra 125-nya. Saya dan teman-teman pun lantas melanjutkan aktivitas leyeh-leyeh sembari menunggu sembahyang ashar.

Selepas ashar, kami bergerak menuju masjid destinasi kedua kami yakni Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Dari simpang lima, kami menumpang angkot menuju MAJT. Rupanya untuk menuju MAJT tidak ada angkot yang melintas di depan MAJT dan kami pun harus berjalan sekitar 1 km untuk menuju MAJT dari tempat pemberhentian angkot. 

Namun berbekal tekad kuat dan energi yang sudah kembali terkumpul pasca leyeh-leyeh di Masjid Raya Semarang, kami akhirnya tiba di MAJT dengan sehat wal’afiat sekitar pukul 5.


Skuad J2M
Berbeda dengan Masjid Raya Baiturahman Semarang, Masjid Agung Jawa Tengah ini lebih baru dan lebih luas. Kalau dikira-kira, luas komplek MAJT ini setara dengan luas komplek Masjid At Tin yang berada di TMII, Jakarta. Gaya arsitekturnya (ehm) pun dibuat serupa dengan masjid-masjid di Timur Tengah. 

Terdapat dua hal unik di MAJT ini. Yang pertama adalah menara masjid setinggi 62 meter yang katanya (katanya loh ya) kita bisa melihat kota Semarang dari ketinggian hingga Bandara Ahmad Yani yang berada di pesisir utara Kota Semarang. Keunikan kedua adalah keempat pilar yang berada di selasar masjid yang ternyata adalah payung hidrolis. Payung hidrolis ini serupa dengan payung hidrolis yang berada di Masjid Nabawi, Madinah namun jumlahnya tidak sebanyak yang ada di Masjid Nabawi. Sayangnya pada saat itu, payung tidak sedang dikembangkan sehingga tidak bisa melihat secara langsung bagaimana proses buka-tutup payungnya.
Empat payung hidrolis di Masjid Agung Jawa Tengah
Interior Masjid Agung Jawa Tengah, di sebelah kanan terdapat Al Qur'an Raksasa
Menara Al Husna MAJT
Lagi-lagi, tidak banyak yang kami lakukan di MAJT. Leyeh-leyeh nampaknya menjadi agenda utama yang harus dijalani ketika tiba di tempat tujuan. Untungnya lantai selasar masjid yang dilapisi marmer (atau sejenisnya) cukup bersih untuk diduduki. Agenda leyeh-leyeh ini berakhir ketika menjelang azan maghrib ketika saya dan teman-teman memutuskan untuk bersih-bersih dan masuk ke dalam masjid untuk berbuka puasa.


Siluet Masjid Agung Jawa Tengah

Buka puasa di MAJT menjadi buka puasa pertama saya dalam J2M ini. Saya lupa pada saat di MAJT apakah pengurus masjid memberikan ta’jil atau tidak. Akan tetapi setelah shalat maghrib saya dan teman-teman diajak oleh pengurus masjid untuk menuju satu ruangan. Ada apakah gerangan? 

Rupa-rupanya pihak pengurus masjid telah menyiapkan hidangan untuk makan malam di satu ruangan masjid (bukan di dalam masjid). Menu yang disediakan adalah nasi kotak dengan segala lauk pauk yang menurut saya sangat wah untuk menu yang biasa dihidangkan ketika berbuka puasa.
Suasana buka puasa di MAJT (maap yak ngeblur)
Selepas mengisi perut kami lantas menuju ruang utama masjid untuk menunaikan shalat isya dilanjutkan shalat tarawih. Seingat saya pada saat itu, kultum tarawih yang biasanya dilakukan antara shalat isya dan tarawih, dijadwalkan setelah shalat tarawih. Alhasil setelah shalat isya, jamaah langsung mendirikan shalat tarawih. 

Nah, sebelum shalat tarawih, imam mengumumkan bahwa shalat tarawih akan dilakukan sebanyak 23 rakaat, terdiri dari 20 rakaat shalat tarawih dan 3 rakaat shalat witir. Karena dulu ketika masih kecil masjid belakang rumah saya sering menggelar tarawih dengan konfigurasi 20-3 (sekarang sudah 8-3), maka tidak menjadi masalah untuk saya. 

Namun, setelah itu imam mengumumkan bahwa surat-surat pendek yang akan dibaca sepanjang pelaksanaan 20 rakaat shalat Tarawih adalah surat Al Baqarah dari awal sampai ayat 286. Deg…
MAJT malam hari
Karena kondisi badan yang sudah capek setelah bepergian dari kota masing-masing, kami sepakat untuk melaksanakan tarawih hingga 8 rakaat ditambah 3 witir yang dilaksanakan secara individu. Yah mungkin di lain waktu bisa full. Selepas shalat tarawih kami lantas kembali ke selasar masjid untuk berfoto-foto dan menuju Alfamart yang berada di depan kompleks MAJT untuk mengisi perbekalan sekaligus membeli tiket menuju Cirebon. 

Tiket berhasil didapatkan, lalu muncul pertanyaan, bagaimana caranya pulang ke Simpang Lima? Sebelumnya supir angkot yang membawa kami menuju MAJT sudah mengabarkan kalau angkot beroperasi hingga pukul 5 sementara waktu sudah menunjukkan pukul 9. Kami pun tidak mengagendakan bermalam di MAJT karena memang bukan tujuan bermalam kami. Alhasil taksi Blue Bird pun menjadi pilihan terbaik (karena pada saat itu tidak ada Gojek apalagi Grab). Ongkos taksinya pun rupanya hanya 25 ribu rupiah dibagi kami berlima menjadi 5 ribu per kepala. Hmm kalau gitu mending naik taksi aja tadi.

Tiba di Simpang Lima kami memutuskan untuk berkeliling sebentar sebelum beristirahat untuk melihat-lihat suasana sekitar. Tidak lama kami pun memutuskan untuk masuk dan beristirahat. Tak dinyana, rupanya Masjid Raya Semarang dikunci dan mau tak mau kami beristirahat di selasar masjid. Kami tidak sendiri karena banyak juga orang-orang yang tidur di selasar masjid. Okelah gapapah yang penting bisa tidur

Berbekal jaket dan sarung yang dibawa saya dan teman-teman tidur di selasar masjid beralaskan keramik masjid dan beratapakan plafon masjid yang sudah mulai usang. Perjalanan hari ini usai diiringi dengkur halus rekan-rekan sejawat di samping saya.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments