Jalan-Jalan Masjid #2: Rekognisi Semarang Tempo Dulu
By Padu Padan Kata - 6:04 PM
Cerita
perjalanan ini merupakan cerita perjalanan yang dilakukan di tahun 2014. Apabila ada ketidakakuratan dengan kondisi di lapangan mohon
dimaklumi karena hanya ditulis seingat-ingat saya. Apabila belum membaca bagian 1, silakan dibaca di sini. Selamat membaca.
Minggu,
6 Juli 2014 (Semarang – Kudus)
Angin malam yang berhembus semilir nampaknya
tidak cukup dingin untuk menembus jaket dan sarung kotak-kotak yang saya pakai saat
beristirahat. Nyamuk-nyamuk yang senantiasa bersiasat untuk menghisap darah pun juga
cukup enggan untuk singgah. Kondisi ini terbantu berkat bantuan pasangan kombo
jaket-sarung yang menemani saya dalam mengantar saya beristirahat pada malam hari. Untungnya
sebelum berangkat menuju Semarang, sarung yang tadinya hendak saya singkirkan tetap saya masukkan ke ransel.
Pukul setengah 3 dini hari, saya dan teman-teman terjaga untuk sahur. Tidur ayam-ayam selama kurang lebih 3 jam nampaknya masih belum cukup untuk mengusir kantuk saya.
Sahur pagi ini tidak menjadi perkara besar bagi kami. Persis di depan Masjid Raya Semarang, warung-warung nasi kaki lima sudah ramai menggelar dagangannya sejak tengah malam. Kami pun memutuskan untuk menyantap menu nasi rames yang berada di trotoar depan Masjid Raya Semarang. Harganya pun relatif terjangkau meski sedikit di atas rata-rata. Segelas teh manis dan kerupuk pun tak luput menjadi santapan saya pagi itu. Kegiatan sahur kami akhiri menjelang imsyak.
Sahur pagi ini tidak menjadi perkara besar bagi kami. Persis di depan Masjid Raya Semarang, warung-warung nasi kaki lima sudah ramai menggelar dagangannya sejak tengah malam. Kami pun memutuskan untuk menyantap menu nasi rames yang berada di trotoar depan Masjid Raya Semarang. Harganya pun relatif terjangkau meski sedikit di atas rata-rata. Segelas teh manis dan kerupuk pun tak luput menjadi santapan saya pagi itu. Kegiatan sahur kami akhiri menjelang imsyak.
Sembari menanti azan subuh, kami
menunggu di dalam masjid. Pagi itu masjid tidak terlalu ramai, hanya ada
beberapa orang yang bertadarus ataupun berzikir setelah shalat malam. Tak lama
azan pun berkumandang. Jamaah sedikit demi sedikit mulai bertambah, masuk ke
dalam masjid. Kami pun menuju tempat wudhu untuk kemudian bersiap menunaikan shalat
subuh berjamaah.
Selepas menunaikan shalat subuh, saya yang tak kuat menahan kantuk segera beringsut, memposisikan diri berbaring di bagian belakang masjid. Teman-teman saya pun juga turut roboh di bagian belakang masjid.
Selepas menunaikan shalat subuh, saya yang tak kuat menahan kantuk segera beringsut, memposisikan diri berbaring di bagian belakang masjid. Teman-teman saya pun juga turut roboh di bagian belakang masjid.
Kurang lebih selama 2 jam saya tertidur. 2 jam tadi rupanya sudah lumayan cukup untuk menghilangkan kantuk. Alan dan Deni sudah sejak
tadi bangun, hanya tinggal Wawan dan Ardi yang masih terlelap. Setelah kedua
bocah itu dibangunkan, kami pun bersiap untuk memulai perjalanan di hari ke-2.
Ritual bersih-bersih alias mandi dan gosok gigi pun tidak lupa dilaksanakan untuk menjaga kesegaran dan kebersihan badan. Kami pun secara bergantian bersih-bersih dan menjaga barang bawaan selama si empunya barang bersih-bersih. Ritual bersih-bersih ini juga menjadi salah satu agenda penting apabila kami singgah di masjid yang memiliki fasilitas kamar mandi yang cukup mumpuni untuk bersih-bersih, termasuk salah satunya Masjid Raya Semarang ini.
Ritual bersih-bersih alias mandi dan gosok gigi pun tidak lupa dilaksanakan untuk menjaga kesegaran dan kebersihan badan. Kami pun secara bergantian bersih-bersih dan menjaga barang bawaan selama si empunya barang bersih-bersih. Ritual bersih-bersih ini juga menjadi salah satu agenda penting apabila kami singgah di masjid yang memiliki fasilitas kamar mandi yang cukup mumpuni untuk bersih-bersih, termasuk salah satunya Masjid Raya Semarang ini.
Selasar Masjid Raya Semarang tempat kami beristirahat ketika malam |
Agenda perjalanan hari ini tidak
terlalu banyak karena memang kami hanya ingin mengunjungi obyek wisata di
Semarang dan berpindah menuju Kudus. Dari beragam obyek wisata yang ada di
Semarang, pilihan pun lantas mengerucut menjadi dua pilihan yakni Klenteng Sam
Po Kong dan Lawang Sewu.
Memilih salah satu obyek wisata menjadi keharusan karena keterbatasan waktu (dan tenaga). Saya sendiri yang saat itu baru pertama kali ke Semarang agak kecewa karena hanya bisa mengunjungi salah satu dari dua pilihan yang ada. Yah gapapah lah, mungkin bisa lain waktu.
Pilihan pun jatuh ke obyek wisata Lawang Sewu, alasannya lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Simpang Lima dan dari situ kami dapat dengan mudah menuju Terminal Terboyo. Oke ciao!
Memilih salah satu obyek wisata menjadi keharusan karena keterbatasan waktu (dan tenaga). Saya sendiri yang saat itu baru pertama kali ke Semarang agak kecewa karena hanya bisa mengunjungi salah satu dari dua pilihan yang ada. Yah gapapah lah, mungkin bisa lain waktu.
Pilihan pun jatuh ke obyek wisata Lawang Sewu, alasannya lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Simpang Lima dan dari situ kami dapat dengan mudah menuju Terminal Terboyo. Oke ciao!
Perjalanan menuju Lawang Sewu dengan
angkot hanya memakan waktu kurang lebih 5 menit. Ternyata saya baru ngeh kalau Kawasan Simpang Lima dan Lawang
Sewu hanya segaris lurus plek blek
ketika membuat tulisan ini. Jaraknya pun hanya kurang dari 2 km menurut Google Maps.
Maklum saat itu kami tidak ada yang memiliki smartphone, apalagi Google Maps.
Deni yang merupakan warga lokal Semarang (Ungaran tepatnya) menyarankan untuk menggunakan angkot menuju Lawang Sewu. Agak keki juga, namun tidak apa-apa lah, lumayan menghemat tenaga walaupun kami harus membayar Rp 2.000 per kepala.
Deni yang merupakan warga lokal Semarang (Ungaran tepatnya) menyarankan untuk menggunakan angkot menuju Lawang Sewu. Agak keki juga, namun tidak apa-apa lah, lumayan menghemat tenaga walaupun kami harus membayar Rp 2.000 per kepala.
Perjalanan menuju Lawang Sewu dengan angkot |
Jelajah
Seribu Pintu Lawang Sewu
Sesampainya di Lawang Sewu, Lawang
Sewu ternyata baru saja dibuka. Kami tidak sendiri, ada satu keluarga lengkap
dengan seorang kakek yang celingak celinguk di depan lokasi. Keluarga tadi pun
tidak menolak ketika ditawari pemandu wisata sebagai teman perjalanan mereka.
Kami yang memang hanya berniat melihat-lihat pun menolak tawaran untuk ditemani
pemandu wisata. Heleh, udah gede masak
masih ditemenin.
Berbicara soal sejarah, Lawang
Sewu adalah salah satu bangunan bersejarah di Kota Semarang yang saat ini difungsikan
sebagai Museum Kereta Api oleh PT KAI. Awalnya, bangunan ini (mengutip dari Wikipedia)
merupakan bangunan kantor milik Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau terjemahannya
Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda.
Saya pun baru tahu Lawang Sewu adalah sebuah museum kereta api ketika mengunjunginya. Pasalnya, yang saya tahu, Lawang Sewu adalah legenda tempat uji nyali Dunia Lain Trans TV yang dulu dipandu oleh Hari Panca. Tidak lebih dari itu.
Tiket masuk yang dikenakan adalah Rp
10.000, cukup mahal memang menurut saya. Sebab museum-museum di Jakarta
rata-rata hanya mengenakan harga Rp 2.000-Rp 5.000. Layout bangunan Lawang Sewu ini terbagi
menjadi tiga gedung utama.
Seperti museum-museum pada umumnya, tiap-tiap ruang di masing-masing bangunan diisi dengan barang-barang bersejarah dari masa lampau. Barang-barang seperti alat wesel stasiun, mesin tiket, lokomotif dan barang-barang antik lainnya. Setiap bangunan memiliki tema display masing-masing namun saya lupa perbedaan antar bangunan apa saja.
Saya pun baru tahu Lawang Sewu adalah sebuah museum kereta api ketika mengunjunginya. Pasalnya, yang saya tahu, Lawang Sewu adalah legenda tempat uji nyali Dunia Lain Trans TV yang dulu dipandu oleh Hari Panca. Tidak lebih dari itu.
Tampak bangunan Lawang Sewu, kalau siang halaman depannya bagus loh buat foto-foto |
Seperti museum-museum pada umumnya, tiap-tiap ruang di masing-masing bangunan diisi dengan barang-barang bersejarah dari masa lampau. Barang-barang seperti alat wesel stasiun, mesin tiket, lokomotif dan barang-barang antik lainnya. Setiap bangunan memiliki tema display masing-masing namun saya lupa perbedaan antar bangunan apa saja.
Lokomotif C-23 bikinan Saohsische Maschinenfabrik vorm. Rich. Hartman tahun 1907 yang trengginas di zamannya |
Sayangnya, saat itu Lawang Sewu tengah
melakukan perbaikan dan perawatan pada bangunan. Beberapa bagian pun ditutup
untuk dikunjungi publik, termasuk ruang bawah tanah Lawang Sewu. Sebelumnya
saya diberitahu kalau ruang bawah tanah ini merupakan
ruang tempat dilakukan uji nyali-nya Dunia Lain dan untuk masuk ke dalam harus
ditemani oleh “pemegang kuncinya” agar tidak terjadi yang “aneh-aneh”.
Sebutan Lawang Sewu yang memang
berarti Seribu Pintu memang tepat karena bangunan ini memiliki banyak pintu. Jumlah
pintu yang banyak ini pun menjadi nilai plus dari bangunan ini karena angin semilir
dapat dengan mudah masuk ke dalam ruangan sehingga ruangan tidak pengap atau sumpek. Pencahayaan pun juga menjadi sangat
baik ditambah dengan langit-langit bangun yang cukup tinggi.
Mungkin para kompeni-kompeni zaman dulu merasa gerah ketika bekerja di Semarang yang kemudian menginspirasi arsitek Cosman Citroen (bukan merk mobil) membuat bangunan Lawang Sewu yang adem ayem hingga saat ini.
Mungkin para kompeni-kompeni zaman dulu merasa gerah ketika bekerja di Semarang yang kemudian menginspirasi arsitek Cosman Citroen (bukan merk mobil) membuat bangunan Lawang Sewu yang adem ayem hingga saat ini.
|
Usai menjelajah seluruh bangunan
Lawang Sewu dan mengabadikan momen, kami pun menuju mushala Lawang Sewu untuk
beristirahat dan menunggu waktu shalat dzuhur. Selepas shalat dzuhur, kami pun
meninggalkan Lawang Sewu untuk melanjutkan petualangan menuju Kudus.
Skuad J2M |
Untuk menuju Kudus, kami terlebih
dahulu harus menuju Terminal Terboyo yang berada cukup jauh dari Tugu Muda. Terminal
Terboyo ini merupakan terminal bus AKAP yang berada di persis jalur Pantura
yang menghubungkan Semarang – Demak – Kudus dan kota-kota lain di pantai utara
Jawa. Angkutan umum yang menuju Terminal Terboyo pun juga lumayan banyak
tersedia dari Tugu Muda. Nah, pada perjalanan kemarin kami menumpang bus kecil
sejenis Kopaja di Jakarta namun dengan dimensi yang lebih kecil dengan rute
Banyumanik - Terboyo. Tarifnya kalau tidak salah Rp 5.000 per kepala.
Salah satu daya tarik dari bus-bus
kecil ataupun bus-bus besar di Pantai Utara ini adalah fasilitas on-board entertainment-nya. Dengan bermodalkan televisi LED 22”, perangkat pemutar DVD, dan sound system yang gegap gempita, bus-bus ini mampu menghibur
penumpang (termasuk saya) dengan lantunan dangdut beragam genre mulai dari
dangdut koplo, dangdut klasik, hingga dangdut remix.
Nah, pada perjalanan menuju Terminal Terboyo kemarin, saya mendapat fasilitas hiburan berupa video konser dangdut di sebuah hajatan mantenan. Cukup menarik bagi saya, terlebih dangdut Pantura ini khas dengan hentakan-hentakan kendang yang cepat dan iringan “hak hak hak” atau “eaea e e eaea e e” dari mas-mas penyanyi latar pada bagian-bagian tertentu.
Nah, pada perjalanan menuju Terminal Terboyo kemarin, saya mendapat fasilitas hiburan berupa video konser dangdut di sebuah hajatan mantenan. Cukup menarik bagi saya, terlebih dangdut Pantura ini khas dengan hentakan-hentakan kendang yang cepat dan iringan “hak hak hak” atau “eaea e e eaea e e” dari mas-mas penyanyi latar pada bagian-bagian tertentu.
|
Sepanjang 45 menit perjalanan
menikmati dendangan mbak-mbak pedangdut dari on-board entertainment dalam sepanjang perjalanan menuju Terminal Terboyo
kami pun akhirnya tiba di Terminal Terboyo. Tadinya kami turun dari angkot di
dalam terminal, namun kami diberitahu kalau bus menuju Kudus jarang ada yang
berhenti di dalam terminal. Jadilah kami berjalan keluar terminal untuk
menunggu bus menuju Kudus.
Ada tiga hal yang paling saya ingat
dari Terminal Terboyo; kumuh, gersang, dan panas. Untuk yang disebut terakhir
saya dapat memakluminya karena terminal ini memang benar-benar berada di
pesisir pantai dan berdekatan dengan pelabuhan. Namun banyaknya tumpukan sampah
berserakan dan kubangan-kubangan air berwarna hijau kecoklatan membuat kesan
kumuh tidak terhindarkan dari terminal ini. Di samping itu gersangnya terminal
akibat pohon-pohon yang ada hanya seumprit membuat Terminal Terboyo ini lebih mirip disebut pelabuhan ketimbang
terminal bus.
Kami menunggu selama kurang lebih satu
jam di sebuah gubuk di pinggir jalan terminal, hingga ada satu bus berukuran
besar tujuan Kudus tiba. Bus yang saya tumpangi ini mirip dengan bus pariwisata
yang dilengkapi dengan AC. Tidak lupa seperangkat on board entertainment dengan iringan musik dangdut yang diputar
mengiringi perjalanan kami ke Kudus.
Tidak banyak yang saya ingat dalam
perjalanan ini karena saya sendiri tertidur hingga menjelang masuk Kudus. Namun
ada satu cerita tersendiri di dalam bus tujuan Kudus ini, dimana saat itu Ardi
dipalak oleh pengamen yang mengamen ketika bus yang kami tumpangi ngetem tidak jauh dari Terminal Terboyo.
Saya sendiri tidak mengetahui secara pasti namun berdasarkan cerita dari Deni
dan Alan.
Jadi begini kira-kira ceritanya (sepenangkap saya). Saat itu si pengamen telah menyelesaikan lantunan lagunya dan meminta
uang dari penumpang. Nah, saya yang saat itu tidak memiliki uang kecil tidak
memberikan uang kepada si pengamen dan si pengamen pun lewat-lewat saja karena
saya pasang tampang acuh tak acuh. Nah sial bagi Ardi yang saat itu berniat menghargai
jasa pengamen dengan memberikan uang kepada pengamen namun justru dipalak si
pengamen. Selidik punya selidik saat hendak memberikan uang, si pengamen
melihat lipatan duit sepuluh ribuan yang terlipat bersamaan dengan uang yang
hendak diberikan si Ardi. Walhasil kejadian palak memalak pun tak dapat
terhindarkan dan uang sepuluh ribuan Ardi pun melayang ke kantong recehan si
pengamen.
Perjalanan menuju Kota Santri pun
dimulai!
NB:
Apabila teman-teman ingin mendalami lebih jauh tentang Lawang Sewu, jangan
ragu-ragu untuk meminta bantuan kepada pemandu wisata di Lawang Sewu karena
banyak hal yang bisa ditanyakan kepada bapak pemandu wisata. Tentunya
teman-teman harus mengeluarkan sejumlah uang.
Nah untuk transportasi di dalam kota Semarang, saat ini mungkin sudah banyak terbantukan dengan kehadiran ojek daring yang harganya cukup bersaing dengan bus-bus atau angkot, namun buat teman-teman yang ingin menikmati sensasi bus khas Pantura, tidak ada salahnya menggunakan bus-bus kecil yang berseliweran di Kota Semarang.
Nah untuk transportasi di dalam kota Semarang, saat ini mungkin sudah banyak terbantukan dengan kehadiran ojek daring yang harganya cukup bersaing dengan bus-bus atau angkot, namun buat teman-teman yang ingin menikmati sensasi bus khas Pantura, tidak ada salahnya menggunakan bus-bus kecil yang berseliweran di Kota Semarang.
0 comments