Cerita
perjalanan ini merupakan cerita perjalanan yang dilakukan kurang lebih 2 tahun
yang lalu, apabila ada ketidakakuratan dengan kondisi di lapangan mohon
dimaklumi karena hanya ditulis seingat-ingat penulis. Apabila teman-teman semua
ingin mengetahui perjalanan saya dan teman-teman dari awal, sila membuka tautan
berikut. Selamat membaca!
Senin,
7 Juli 2014 (Demak)
Demak merupakan kota tujuan ketiga kami
dalam tur Jalan-Jalan Masjid. Kota ini terletak tidak terlalu jauh dari Kudus
dan lokasinya berada di tengah-tengah Kota Semarang dan Kudus. Bahkan
sebelumnya kami pun sudah melewati Alun-Alun Demak, yang akan kami tuju, dalam
perjalanan kami menuju Kudus.
Perjalanan dari Masjid Menara Kudus menuju Demak diawali dengan menyetop angkot di persimpangan Jalan Menara dan Jalan Kudus. Angkot kecil berkelir kuning ini menuju Alun-Alun Kudus dan melewati pusat kota Kudus. Angkot kecil pun langsung penuh begitu kami tumpangi. Saya sendiri tidak ingat rute perjalanan saat itu. Tapi di akhir perjalanan kami diturunkan di sebuah tempat dimana kami dapat menumpang bus untuk menuju Demak. Sesampainya di sana, sudah ada bus yang telah terparkir rapi di bahu jalan.
Perjalanan dari Masjid Menara Kudus menuju Demak diawali dengan menyetop angkot di persimpangan Jalan Menara dan Jalan Kudus. Angkot kecil berkelir kuning ini menuju Alun-Alun Kudus dan melewati pusat kota Kudus. Angkot kecil pun langsung penuh begitu kami tumpangi. Saya sendiri tidak ingat rute perjalanan saat itu. Tapi di akhir perjalanan kami diturunkan di sebuah tempat dimana kami dapat menumpang bus untuk menuju Demak. Sesampainya di sana, sudah ada bus yang telah terparkir rapi di bahu jalan.
Bus menuju Demak yang kami tumpangi
berbeda 180 derajat dengan bus yang kami tumpangi dari Semarang menuju Kudus.
Perangkat on-board entertainment yang
biasanya memutar musik dangdut beragam genre
terdiam tak bersuara, meskipun tv yang tergantung di bagian depan bus memutar
video. Hmm ada apakah gerangan?
Saya menebak-nebak, mungkin hal ini dikarenakan waktu belum mencapai tengah hari dan dangdut Pantura tidak cocok untuk diputar sebelum tengah hari. Jadilah perjalanan kami menuju Demak menjadi kurang semarak dan hanya ditemani dengan dengkuran beberapa penumpang yang terbuai AC di dalam bus.
Waktu zuhur tiba, beberapa jemaah segera
berduyun-duyun memasuki ruang utama masjid. Sesuai tradisi, sebelum azan
dikumandangkan, penjaga masjid menabuh bedug besar yang ada di selasar masjid.
Alhasil sehingga jamaah masjid yang tengah menikmati dinginnya ubin masjid,
terbangun. Tabuhan bedug itu pun mengundang nada-nada ketus dari beberapa jamaah
yang masih geliyeng-geliyeng.
Saya menebak-nebak, mungkin hal ini dikarenakan waktu belum mencapai tengah hari dan dangdut Pantura tidak cocok untuk diputar sebelum tengah hari. Jadilah perjalanan kami menuju Demak menjadi kurang semarak dan hanya ditemani dengan dengkuran beberapa penumpang yang terbuai AC di dalam bus.
Suasana di dalam bus menuju Demak |
Perjalanan menuju Demak sendiri memakan
waktu separuh dari waktu perjalanan kami dari Semarang ke Kudus kemarin. Tarifnya
pun berkurang sedikit, yakni Rp 8.000. Sama seperti ketika kami pergi ke Kudus,
bus yang kami tumpangi awalnya separuh terisi. Namun lama kelamaan menjadi
penuh sesak hingga penumpang memenuhi lorong bus. Untungnya AC bus lumayan
mampu mengkondisikan suasana di dalam bus.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1.5 jam, bus yang kami tumpangi pun perlahan tiba di
Demak. Kami memberi kode ke kernet bus untuk berhenti di dekat alun-alun Demak,
tepatnya di gapura masuk menuju Alun-Alun Demak. Sedikit berjalan kaki, kami
pun tiba di Kawasan Alun-Alun Demak.
Menyusuri pertokoan menuju Alun-Alun Demak |
Sekilas, ada yang menarik dari Kawasan Alun-Alun
Demak ini. Di tengah-tengah jalan (blok pembagi lajur jalan) terdapat
tiang-tiang yang setelah saya amati lebih dekat, ternyata merupakan sebutan
Asmaul Husna atau nama-nama suci Allah. Nampaknya, pengaruh Islam memang sangat
melekat pada Kota Demak ini hingga turut berpengaruh pada estetika di dalam
kota.
Asmaul Husna yang diletakkan di tengah jalan |
Kami pun mempercepat langkah kami karena
matahari sudah cukup tinggi. Sesampainya di Masjid Agung Demak, kami langsung
memposisikan diri mencari tempat untuk “bermukim”. Selasar masjid yang cukup
luas memungkinkan kami dapat bergabung dengan beberapa jamaah yang telah
sebelumnya “bermukim”. Agenda pertama yang kami laksanakan bukan lain dan tidak
lain adalah bersih-bersih. Setelah 24 jam lebih tidak merasakan guyuran air
membasahi tubuh kami dan hanya sebotol Axe Chocolate yang menyembunyikan aroma
tubuh kami, momen ini menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu. Beberapa dari
kami pun bergantian menjaga barang-barang sembari yang lainnya bersih-bersih.
Jamaah Masjid Agung Demak yang beraktivitas di selasar masjid |
Sehabis membersihkan diri, kami
dibebaskan untuk melakukan apapun. Sebagian dari kami memilih untuk
berleyeh-leyeh dan sisanya mengunjungi makam sultan-sultan Demak dan Museum
Masjid Agung Demak yang berada di dalam kompleks Masjid Agung Demak. Saya,
Wawan, dan Deni pun memilih untuk mengunjungi kedua obyek tersebut sementara
Alan dan Ardianto berleyeh-leyeh. Di dalam museum kami melihat banyak
barang-barang peninggalan zaman kesultanan dahulu dan cerita di dalamnya. Salah
satu barang peninggalan yang dapat dilihat adalah keempat pilar asli masjid
yang berukuran sangat besar yang dapat dilihat di dalam museum.
Makam para raja di Kompleks Masjid Agung Demak |
Bedung Masjid Agung Demak |
Suasana di dalam Masjid Agung Demak |
Seusai zuhur, karena cuaca saat itu
sangat panas dan matahari nampaknya sedang ingin tampil eksis, jadilah kami
memilih menunda perjalanan ke Semarang sehabis Asar. Pasalnya bepergian ketika
siang hari ketika sedang berpuasa hanya akan menghabiskan banyak energi. Selain
itu, lantai selasar Masjid Agung Demak yang terbuat dari marmer (atau
sejenisnya) sangat efektif menyalurkan dingin ke tubuh kami. Oleh karena itu
sembari menunggu Asar, kami hanya gegoleran
di lantai selasar masjid sembari mengobrol-ngobrol yang juga harus
dihemat-hemat agar tidak mengganggu jemaah lainnya (dan supaya tidak haus!).
Sehabis menunaikan shalat asar, kami pun
bergegas menuju Semarang untuk bertolak menuju Cirebon. Berbeda dengan
perjalanan antar kabupaten sebelumnya, bus yang kami tumpangi berupa bus
berukuran kecil (seukuran kopaja) yang tidak dilengkapi AC. Tarifnya pun kalau
tidak salah separuh harga bus Patas. Namun yang saya senangi, bus kecil ini
rupanya menganut faham “Bus Pantura ga boleh ga muter musik”. Yap betul sekail,
lagi-lagi kami disuguhi lantunan dangdut Pantura sepanjang perjalanan kami. Saya
pun sedikit-sedikit turut terhanyut alunan dangdut yang mengalun syahdu dari
speaker soak yang terpasang tidak sempurna di bagian depan bus.
NB: Sedikit tips, Kota Demak memiliki banyak kekhasan, terutama wisata religi dan sejarah. Kalau memiliki waktu lebih, boleh loh menyisir kota Demak untuk mendalami sejarah-sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa.
0 comments