Minggu pagi tadi saya ke Gelanggang Olah Raga (GOR)
Kridosono. Jarang sekali saya menjejakkan kaki pagi-pagi jam 8 di GOR bikinan
tahun 1971 ini. Apalagi di hari minggu pagi yang biasanya menjadi waktu pacaran
saya dengan si kasur. Kasus anomali ini bukan tanpa alasan. Tim basket kampus jurusan saya sudah dua atau tiga minggu ini menggelar latihan rutin di GOR Kridosono. Lama
tak menyentuh bola dan mendengar decit adu sol sepatu dengan lantai membuat
saya kangen sekangen-kangennya. Ditambah lagi, saya selalu merasa lebih enak
bermain basket di dalam ruangan ketimbang di lapangan terbuka.
Karena rasa kangen yang tak terhingga (ditambah kegabutan di pagi
hari itu), cabutlah saya ke Kridosono. Berboncengan bareng mbak-mbak Gojek
dengan Honda Beat berstripping Hello Kitty-nya. Lumayan enak bawa motornya.
Sesampainya di Kridosono, tidak banyak memang perubahan yang
terjadi semenjak saya terakhir mengunjungi GOR di bilangan Kotabaru ini . Masih
dengan suasana khas GOR yang remang-remang dan bangku kayu yang serasa mau
jebol kalau kita berjalan di atasnya. Beberapa coretan-coretan vandal juga
masih terlihat jelas di beberapa sisi GOR. Terdengar samar-samar bunyi cipakan
air dan tawa bocah-bocah dari Kolam Renang Umbang Tirto yang persis berada di
sebelah GOR. Lokasi Kridosono |
Latihan selama satu jam setengah berjalan dengan seru meskipun
terasa sangat capek karena sudah lama tidak berolahraga dengan ritme tinggi.
Olahraga dengan intensitas paling tinggi yang paling sering saya lakukan paling
bersepeda (karena merupakan kewajiban) dan olahraga jempol alias nge-FIFA
(karena saya bukan anak PES).
GOR Kridosono |
Oke namun bukan itu bahasan utama yang bakal saya utarakan dalam
tulisan ini. Saya akan membahas tentang fisik Kawasan Kridosono yang dibatasi
dalam bunderan Kridosono itu. Tidak termasuk Telkom, Bank BRI, SMAN 3 Padmanaba,
Cafe Legend, apalagi Gedung Balai Pamungkas yang lazimnya difungsikan sebagai
gedung mantenan. Murni Kridosono.
***
Apabila ditelisik ke belakang, tepatnya sekitar 4 tahun lalu
(2013) ketika saya menginjakkan kaki di Yogyakarta sebagai mahasiswa gawe kota
di salah satu universitas kenamaan nasional di Sleman, perubahan fisik kawasan
di sekitar Kridosono hingga saat ini cenderung tergolong pesat. Sedikit
berceritera, pertama kali saya bertandang ke Kridosono adalah ketika salah satu
mata kuliah yakni STUDIO ANALISIS DAN RENCANA KAWASAN, mengambil lokasi di
Kawasan Kotabaru. Kelompok saya tergolong beruntung, karena mendapatkan
potongan Kridosono hingga ke barat sedikit sampai jalan F.M Noto dan sebagian
Jl. Abu Bakar Ali, yang notabene titik pusat dari Kawasan Kotabaru sehingga
elemen bangunan yang disurvei tidak terlalu banyak. Saya yang saat itu masih
lucu-lucunya dan belum bisa naik motor, bersama teman-teman lainnya berdelapan,
ditantang pak dosen untuk membuat rencana kawasan Kridosono. Gas? Gas lah, wong 4 SKS.
Oke, setelah tantangan diberikan dan berdiskusi panjang lebar soal
rencana survei, berangkatlah kami ke Kridosono yang dapat ditempuh hanya 5
menit dari kampus dengan menumpang motor. Karena saya tidak bisa mengendarai
motor, saya diboncengi teman saya. Tentu kami berkonvoi dengan hati-hati dan
menaati peraturan lalu lintas. Sedikit tips, berkendaralah dengan baik di
daerah, kalau tidak bakal disemprit pak Pol yang dengan tatapan tajamnya
memantau gerak-gerik pengendara di perempatan Gramedia. Lumayan bos kalau kena tilang, bisa buat beli paketan setengah tahun.
The Famous Mie Bandung Kridosono |
Kridosono yang saya lihat pada saat itu adalah Kridosono yang
sangat tidak terawat dan seperti dianaktirikan. Oke, mungkin terdengar sangat
berlebihan, tapi begitulah adanya. Di antara bangunan-bangunan lain yang
mengitari oval Kridosono seperti SMAN 3 Padmanaba, Telkom, BRI, sampai Cafe Kopi
24 Jam Legend, kondisi Kridosono tidak ada seujung kukunya. Memang sih, ada
mural-mural dari tangan terampil seniman Yogyakarta, tapi melihat bangunan
utama Kridosono yang sungguh kusam dan tidak terawat membuat kami mengelus dada
(sendiri).
Kami pun kesulitan mencari pintu masuk stadion, yang ternyata tersembunyi di antara Mi Bandung Kridosono dan Warung Soto Pak Sholeh. Bayangan rumput halus nan berpola garis-garis macam Stadion Old Trafford atau Stadion Patriot Chandrabhaga di Bekasi pun pupus sedari kami melihat pintu besi yang sudah karatan.
Kami pun kesulitan mencari pintu masuk stadion, yang ternyata tersembunyi di antara Mi Bandung Kridosono dan Warung Soto Pak Sholeh. Bayangan rumput halus nan berpola garis-garis macam Stadion Old Trafford atau Stadion Patriot Chandrabhaga di Bekasi pun pupus sedari kami melihat pintu besi yang sudah karatan.
Kondisi Stadion Kridosono. Tidak banyak yang berubah seingat saya, kecuali rumah "penjaga" Kridosono di pojok timur Stadion yang sekarang sudah tidak ada lagi. |
Bangunan tribun yang hanya 3 atau 5 tingkat, sudah terkelupas
catnya. Atapnya juga ikut-ikutan tak ingin kalah bersaing dengan tribun. Reyot
sana sini. Rumput lapangan seperti kebanyakan diberi pupuk, alhasil rumput
menjalar hingga gravel dan tribun. Tembok pembatas sudah sangat kusam. Bahkan
di ujung jauh sana terlihat sebuah rumah kecil yang saat itu kami yakini
sebagai rumah bapak penjaga Kridosono.
Boks Komentator GOR Kridosono |
Setali tiga uang dengan Stadion Kridosono, kondisi GOR Kridosono
juga cukup membuat saya meringis apabila dibandingkan dengan GOR UNY atau GOR
Amongrogo. Cat bangunan terlihat kusam dan tidak sedap untuk dipandang. Atap
bangunan peyot di sana-sini. Di bayangan saya, tertiup angin sedikit, plafonnya
pasti bisa terbang. Kondisi di dalam GOR baru saya amati ketika saat itu
mahasiswa semester awal diwajibkan untuk mengikuti suporteran. Agak bergidik
rasanya ketika kami harus mengikuti gerakan pimpinan massa yang enerjik. Kriet
kriet kriet, begitu bunyi kayu tribun mengikuti lompatan kami.
***
Lucunya, kondisi saat ini pun tidak jauh berbeda dengan apa yang
saya amati 4 tahun lalu. Hanya ada dua perubahan yang saya temui, cat tembok
Kridosono yang saat ini lebih baru daripada 4 tahun lalu dan bangunan Resto di
samping utara GOR yang memakan hampir 80% lahan parkir GOR Kridosono. Alhasil
ketika hajatan olahraga terbesar se-Teknik digelar di Kridosono, parkir motor
bisa meluber sampai badan jalan. Selebihnya boleh dikatakan sama seperti ketika
saya 4 tahun lalu pertama kali bertandang ke Kridosono.Aniayya dan Hardcore Gym |
Dari mata saya, saat ini apabila dibandingkan dengan kawasan
sekitarnya, kelihatannya Kridosono mencoba berusaha mengikuti perkembangan
zaman, namun masih terbebani kenangan lama. Di saat bangunan-bangunan lawas di
sekitar Kridosono bersolek ciamik baik tampak luar maupun di dalam, Kridosono
cenderung tak acuh. Upaya Kridosono dalam bersolek hanya menambah beberapa
bangunan agar terlihat ramai seperti toko Cirle K, Hardcore Gym (yang
diperbaharui), dan Resto Merapi. Bangunan yang justru menjadi inti dari
Kridosono berupa GOR, stadion, dan kolam renang hanya rela dipoles cat
berkali-kali, tanpa ada perbaikan struktur sama sekali.
Kolam Renang Umbang Tirta |
Yang saya perhatikan, Kridosono yang seharusnya berfokus pada
kegiatan olahraga dan rekreasi justru lambat laun berbalik menjadi kawasan
rekreasi komersial dan kulinerl. Bangunan GOR, Stadion, dan Kolam Renang yang
seharusnya menjadi ruh utama Kridosono, terbayangi oleh resto-resto yang berada
di Kridosono. Mungkin kalau saya bikin survei kecil-kecilan kepada 10 orang
tentang kegiatan yang kalian lakukan di Kridosono, 5 orang menjawab suporteran,
4 orang menjawab wisata kuliner, dan 1 orang sisanya bermain basket. Ya, satu
orang itu adalah saya.
Padahal kalau ditelisik dari segi potensi, Kawasan Kridosono ini
sungguh strategis minta ampun. Lokasi yang berada persis di tengah kota,
berdekatan dengan dua stasiun besar Yogyakarta, berdekatan dengan kawasan CBD Kota
Yogyakarta, dekat dengan Malioboro, dan paling utama berdekatan dengan Kampus
Kenamaan Nasional yang berada di utara. Seharusnya dengan lokasi yang sungguh
strategis ini, Kawasan Kridosono bisa dikembangkan lebih dari sekadar tempat
olahraga yang kurang terawat dan hanya ramai pada bagian wisata kuliner saja.
Kridosono bisa dijadikan sebagai pusat hang-out masyarakat seantero Yogyakarta.
Terlebih lagi, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta
2010-2030, yang ditelurkan dalam Perda Kota Yogyakarta no 2 tahun 2010,
menyatakan bahwa Kridosono dinyatakan sebagai pusat pengembangan citra kota.
Dalam RTRW 2010-2030 Kridosono disebutkan sebagai tetenger (tetenger???) dan titik kota yang
menyiratkan citra kegiatan pendidikan dan pariwisata/rekreasi aktif dan pasif.
Dengan dasar haluan dari aturan tertinggi tata ruang dalam lingkup Kota
Yogyakarta, maka bukan hal yang lumrah apabila Kridosono mengalami kemunduran
seperti saat ini.
Kolam Renang Umbang Tirta dari "Lubang Intip" GOR Kridosono |
Ruh Kridosono sebagai sarana rekreasi dalam perspektif saya
seharusnya tidak terbatas pada kegiatan olahraga ataupun santap kuliner.
Kridosono yang merupakan center dari Garden City buatan Herman Thomas
Karsten, dapat menjadi sebuah ruang terbuka yang dapat dikunjungi siapapun,
tanpa terbatas akses privat. Saya merasa fungsi Kridosono sebagai sarana
olahraga justru tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Bukan berarti
mengkerdilkan peran Kridosono sebagai sarana olahraga di Kota Yogyakarta maupun
Daerah Istimewa Yogyakarta, namun realita di lapangan berkata sebaliknya. Terjadi
pergeseran fungsi Kridosono sebagai sarana olahraga menjadi sarana rekreasi
komersial.
Lalu bagaimana
sebaiknya?
Sebagai (calon) lulusan Kampus Kenamaan Nasional di Sleman Jurusan
Ilmu Gawe Kota, saya selalu ingat pesan salah satu dosen saya. “Kita ini perencana
boi, bukan tukang analisis belaka. Jangan cuma banyak cang cimeng, fa fi
fu, dan sejenisnya, tapi kita harus bisa kasih solusi!” ujarnya dalam suatu
mata kuliah. Ya memang saya menambahkan sedikit “bumbu”, tapi intinya tetap
sama.
Yap, oleh karena itu dalam tulisan saya berikutnya, saya akan
mencoba memberikan ide “gila” untuk keberlangsungan hidup Kridosono di masa
mendatang. Bukan perencanaan teknokratis selayaknya mata kuliah Studio. Semoga
saja.
2 comments
Baru tau tempat sesempit itu masih ada gym dan kolam renangnya .-.
ReplyDeleteKridosono ini komplet bukan main jun, kurang mesjid aja
Delete