Cry-Dosono

By Padu Padan Kata - 9:23 PM

Minggu pagi tadi saya ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Kridosono. Jarang sekali saya menjejakkan kaki pagi-pagi jam 8 di GOR bikinan tahun 1971 ini. Apalagi di hari minggu pagi yang biasanya menjadi waktu pacaran saya dengan si kasur. Kasus anomali ini bukan tanpa alasan. Tim basket kampus jurusan saya sudah dua atau tiga minggu ini menggelar latihan rutin di GOR Kridosono. Lama tak menyentuh bola dan mendengar decit adu sol sepatu dengan lantai membuat saya kangen sekangen-kangennya. Ditambah lagi, saya selalu merasa lebih enak bermain basket di dalam ruangan ketimbang di lapangan terbuka.
Karena rasa kangen yang tak terhingga (ditambah kegabutan di pagi hari itu), cabutlah saya ke Kridosono. Berboncengan bareng mbak-mbak Gojek dengan Honda Beat berstripping Hello Kitty-nya. Lumayan enak bawa motornya.
Sesampainya di Kridosono, tidak banyak memang perubahan yang terjadi semenjak saya terakhir mengunjungi GOR di bilangan Kotabaru ini . Masih dengan suasana khas GOR yang remang-remang dan bangku kayu yang serasa mau jebol kalau kita berjalan di atasnya. Beberapa coretan-coretan vandal juga masih terlihat jelas di beberapa sisi GOR. Terdengar samar-samar bunyi cipakan air dan tawa bocah-bocah dari Kolam Renang Umbang Tirto yang persis berada di sebelah GOR. 
Lokasi Kridosono
Latihan selama satu jam setengah berjalan dengan seru meskipun terasa sangat capek karena sudah lama tidak berolahraga dengan ritme tinggi. Olahraga dengan intensitas paling tinggi yang paling sering saya lakukan paling bersepeda (karena merupakan kewajiban) dan olahraga jempol alias nge-FIFA (karena saya bukan anak PES).
GOR Kridosono
Oke namun bukan itu bahasan utama yang bakal saya utarakan dalam tulisan ini. Saya akan membahas tentang fisik Kawasan Kridosono yang dibatasi dalam bunderan Kridosono itu. Tidak termasuk Telkom, Bank BRI, SMAN 3 Padmanaba, Cafe Legend, apalagi Gedung Balai Pamungkas yang lazimnya difungsikan sebagai gedung mantenan. Murni Kridosono.
***
Apabila ditelisik ke belakang, tepatnya sekitar 4 tahun lalu (2013) ketika saya menginjakkan kaki di Yogyakarta sebagai mahasiswa gawe kota di salah satu universitas kenamaan nasional di Sleman, perubahan fisik kawasan di sekitar Kridosono hingga saat ini cenderung tergolong pesat. Sedikit berceritera, pertama kali saya bertandang ke Kridosono adalah ketika salah satu mata kuliah yakni STUDIO ANALISIS DAN RENCANA KAWASAN, mengambil lokasi di Kawasan Kotabaru. Kelompok saya tergolong beruntung, karena mendapatkan potongan Kridosono hingga ke barat sedikit sampai jalan F.M Noto dan sebagian Jl. Abu Bakar Ali, yang notabene titik pusat dari Kawasan Kotabaru sehingga elemen bangunan yang disurvei tidak terlalu banyak. Saya yang saat itu masih lucu-lucunya dan belum bisa naik motor, bersama teman-teman lainnya berdelapan, ditantang pak dosen untuk membuat rencana kawasan Kridosono. Gas? Gas lah, wong 4 SKS.
Oke, setelah tantangan diberikan dan berdiskusi panjang lebar soal rencana survei, berangkatlah kami ke Kridosono yang dapat ditempuh hanya 5 menit dari kampus dengan menumpang motor. Karena saya tidak bisa mengendarai motor, saya diboncengi teman saya. Tentu kami berkonvoi dengan hati-hati dan menaati peraturan lalu lintas. Sedikit tips, berkendaralah dengan baik di daerah, kalau tidak bakal disemprit pak Pol yang dengan tatapan tajamnya memantau gerak-gerik pengendara di perempatan Gramedia. Lumayan bos kalau kena tilang, bisa buat beli paketan setengah tahun.
The Famous Mie Bandung Kridosono
Kridosono yang saya lihat pada saat itu adalah Kridosono yang sangat tidak terawat dan seperti dianaktirikan. Oke, mungkin terdengar sangat berlebihan, tapi begitulah adanya. Di antara bangunan-bangunan lain yang mengitari oval Kridosono seperti SMAN 3 Padmanaba, Telkom, BRI, sampai Cafe Kopi 24 Jam Legend, kondisi Kridosono tidak ada seujung kukunya. Memang sih, ada mural-mural dari tangan terampil seniman Yogyakarta, tapi melihat bangunan utama Kridosono yang sungguh kusam dan tidak terawat membuat kami mengelus dada (sendiri). 

Kami pun kesulitan mencari pintu masuk stadion, yang ternyata tersembunyi di antara Mi Bandung Kridosono dan Warung Soto Pak Sholeh. Bayangan rumput halus nan berpola garis-garis macam Stadion Old Trafford atau Stadion Patriot Chandrabhaga di Bekasi pun pupus sedari kami melihat pintu besi yang sudah karatan.

Kondisi Stadion Kridosono. Tidak banyak yang berubah seingat saya, kecuali rumah "penjaga" Kridosono di pojok timur Stadion yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Bangunan tribun yang hanya 3 atau 5 tingkat, sudah terkelupas catnya. Atapnya juga ikut-ikutan tak ingin kalah bersaing dengan tribun. Reyot sana sini. Rumput lapangan seperti kebanyakan diberi pupuk, alhasil rumput menjalar hingga gravel dan tribun. Tembok pembatas sudah sangat kusam. Bahkan di ujung jauh sana terlihat sebuah rumah kecil yang saat itu kami yakini sebagai rumah bapak penjaga Kridosono.
Boks Komentator GOR Kridosono
Setali tiga uang dengan Stadion Kridosono, kondisi GOR Kridosono juga cukup membuat saya meringis apabila dibandingkan dengan GOR UNY atau GOR Amongrogo. Cat bangunan terlihat kusam dan tidak sedap untuk dipandang. Atap bangunan peyot di sana-sini. Di bayangan saya, tertiup angin sedikit, plafonnya pasti bisa terbang. Kondisi di dalam GOR baru saya amati ketika saat itu mahasiswa semester awal diwajibkan untuk mengikuti suporteran. Agak bergidik rasanya ketika kami harus mengikuti gerakan pimpinan massa yang enerjik. Kriet kriet kriet, begitu bunyi kayu tribun mengikuti lompatan kami.
***
Lucunya, kondisi saat ini pun tidak jauh berbeda dengan apa yang saya amati 4 tahun lalu. Hanya ada dua perubahan yang saya temui, cat tembok Kridosono yang saat ini lebih baru daripada 4 tahun lalu dan bangunan Resto di samping utara GOR yang memakan hampir 80% lahan parkir GOR Kridosono. Alhasil ketika hajatan olahraga terbesar se-Teknik digelar di Kridosono, parkir motor bisa meluber sampai badan jalan. Selebihnya boleh dikatakan sama seperti ketika saya 4 tahun lalu pertama kali bertandang ke Kridosono.


Aniayya dan Hardcore Gym
Dari mata saya, saat ini apabila dibandingkan dengan kawasan sekitarnya, kelihatannya Kridosono mencoba berusaha mengikuti perkembangan zaman, namun masih terbebani kenangan lama. Di saat bangunan-bangunan lawas di sekitar Kridosono bersolek ciamik baik tampak luar maupun di dalam, Kridosono cenderung tak acuh. Upaya Kridosono dalam bersolek hanya menambah beberapa bangunan  agar terlihat ramai seperti toko Cirle K, Hardcore Gym (yang diperbaharui), dan Resto Merapi. Bangunan yang justru menjadi inti dari Kridosono berupa GOR, stadion, dan kolam renang hanya rela dipoles cat berkali-kali, tanpa ada perbaikan struktur sama sekali.
Kolam Renang Umbang Tirta
Yang saya perhatikan, Kridosono yang seharusnya berfokus pada kegiatan olahraga dan rekreasi justru lambat laun berbalik menjadi kawasan rekreasi komersial dan kulinerl. Bangunan GOR, Stadion, dan Kolam Renang yang seharusnya menjadi ruh utama Kridosono, terbayangi oleh resto-resto yang berada di Kridosono. Mungkin kalau saya bikin survei kecil-kecilan kepada 10 orang tentang kegiatan yang kalian lakukan di Kridosono, 5 orang menjawab suporteran, 4 orang menjawab wisata kuliner, dan 1 orang sisanya bermain basket. Ya, satu orang itu adalah saya.
Padahal kalau ditelisik dari segi potensi, Kawasan Kridosono ini sungguh strategis minta ampun. Lokasi yang berada persis di tengah kota, berdekatan dengan dua stasiun besar Yogyakarta, berdekatan dengan kawasan CBD Kota Yogyakarta, dekat dengan Malioboro, dan paling utama berdekatan dengan Kampus Kenamaan Nasional yang berada di utara. Seharusnya dengan lokasi yang sungguh strategis ini, Kawasan Kridosono bisa dikembangkan lebih dari sekadar tempat olahraga yang kurang terawat dan hanya ramai pada bagian wisata kuliner saja. Kridosono bisa dijadikan sebagai pusat hang-out masyarakat seantero Yogyakarta.
Terlebih lagi, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta 2010-2030, yang ditelurkan dalam Perda Kota Yogyakarta no 2 tahun 2010, menyatakan bahwa Kridosono dinyatakan sebagai pusat pengembangan citra kota. Dalam RTRW 2010-2030 Kridosono disebutkan sebagai tetenger (tetenger???) dan titik kota yang menyiratkan citra kegiatan pendidikan dan pariwisata/rekreasi aktif dan pasif. Dengan dasar haluan dari aturan tertinggi tata ruang dalam lingkup Kota Yogyakarta, maka bukan hal yang lumrah apabila Kridosono mengalami kemunduran seperti saat ini.
Kolam Renang Umbang Tirta dari "Lubang Intip" GOR Kridosono
Ruh Kridosono sebagai sarana rekreasi dalam perspektif saya seharusnya tidak terbatas pada kegiatan olahraga ataupun santap kuliner. Kridosono yang merupakan center dari Garden City buatan Herman Thomas Karsten, dapat menjadi sebuah ruang terbuka yang dapat dikunjungi siapapun, tanpa terbatas akses privat. Saya merasa fungsi Kridosono sebagai sarana olahraga justru tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Bukan berarti mengkerdilkan peran Kridosono sebagai sarana olahraga di Kota Yogyakarta maupun Daerah Istimewa Yogyakarta, namun realita di lapangan berkata sebaliknya. Terjadi pergeseran fungsi Kridosono sebagai sarana olahraga menjadi sarana rekreasi komersial.
Lalu bagaimana sebaiknya?
Sebagai (calon) lulusan Kampus Kenamaan Nasional di Sleman Jurusan Ilmu Gawe Kota, saya selalu ingat pesan salah satu dosen saya. “Kita ini perencana boi, bukan tukang analisis belaka. Jangan cuma banyak cang cimeng, fa fi fu, dan sejenisnya, tapi kita harus bisa kasih solusi!” ujarnya dalam suatu mata kuliah. Ya memang saya menambahkan sedikit “bumbu”, tapi intinya tetap sama.
Yap, oleh karena itu dalam tulisan saya berikutnya, saya akan mencoba memberikan ide “gila” untuk keberlangsungan hidup Kridosono di masa mendatang. Bukan perencanaan teknokratis selayaknya mata kuliah Studio. Semoga saja.


  • Share:

You Might Also Like

2 comments

  1. Baru tau tempat sesempit itu masih ada gym dan kolam renangnya .-.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kridosono ini komplet bukan main jun, kurang mesjid aja

      Delete