VESPA X KOTABARU

By Padu Padan Kata - 2:45 PM


Sebelum melanjutkan tulisan saya terkait mengubah wajah Kridosono, saya ingin membuat analogi gawe-gawean antara Kotabaru yang merupakan kawasan di Kridosno dengan Vespa PX tahun 90-an kepunyaan Bapak saya. Sedikit cerita, saya kebetulan tergabung dalam salah satu komunitas Jual-Beli Vespa Jakarta di media sosial bikinan mas Mark Zuckerberg. Bukan anggota aktif, melainkan cuma ingin tahu tentang seluk beluk vespa lebih jauh.
Asal muasal saya mengikuti forum ini karena saya diberi titah teramat sangat besar dari Bapak saya. Bapak saya pada masa mudanya boleh dikatakan teramat hipster. Saban hari, pada era muda bapak saya, belio bersama Vespa-nya selalu melaju dari Cijantung-Salemba untuk kuliah ataupun bekerja. Di sela-sela waktunya, tidak lupa mampir ke Tomang untuk bersua dengan pacarnya (yang kelak menjadi ibu saya).
Tidak pakai vespa tentunya. Jauh kali itu Cijantung ke Tomang.
Nah, karena merasa saya sudah cukup besar untuk diberi tanggungan, maka Vespa yang dulu dipakai bapak saya untuk bepergian, “diwariskan” kepada saya. Si Vespa diharapkan untuk diperbaiki dan dihidupkan kembali, setelah 17 tahun yang lalu dipensiunkan bapak saya.
Alamak, batin saya. Aduhai mengapa kiranya tugas berat nan mulia ini dilimpahkan kepada hamba. Bukan tanpa alasan, si Vespa ini sudah 17 tahun tidak merasakan mesinnya dialiri bensin premium, tidak merasakan disela dengan khidmat pada pagi hari, dan tidak merasakan kerasnya jalanan Jakarta. Khawatirnya ketika dihidupkan kembali, si Vespa ini langsung ngambek sejadi-jadinya karena diduakan dengan Kijang Grand Extra 1995 yang menggantikan peran pokok si Vespa.
Si Vespa sampai saat ini memang belum dihidupkan kembali, karena saya sendiri belum sempat kembali ke rumah untuk mencari bengkel yang tepat. Feeling saya mengatakan, si Vespa harus dibongkar habis-habisan. Lagipula saya juga merasa, ketimbang membenarkan si Vespa, kenapa tidak beli motor baru yang lebih gres dan terjamin kualitasnya. Ya syukur-syukur Vario atau Mio. Atau mungkin naik kelas sedikit ke Ninja 250R atau Ducati Monster?
Dalam satu kesempatan saya bertanya, “Yah, kenapa ga beli motor baru aja, daripada si Vespa dibetulin? Lagipula harganya sama aja toh?” tanya saya penuh penasaran, karena ketika kuliah di Jogja saya belum pernah sekalipun merasakan sensasi naik motor dari kosan ke kampus.
Duh nak, Vespa itu nilai historisnya besar sekali. Semakin tua vespa ini, semakin langka dan antik. Tak tergantikan rasanya kalau naik vespa daripada naik motor biasa. Lah ini aja sekarang udah banyak yang nawar, enggak bakal ayah lepas” balas bapak saya dengan santai.
Tak tega jadinya rasanya membiarkan vespa yang memegang peran penting dalam kehidupan Bapak saya teronggok menjadi besi tua. Oleh karena itu, sejak saat itu, hingga detik ini, saya bertekad untuk menghidupkan kembali si Vespa seperti zaman kejayaannya dahulu kala.
Tapi itu urusan nanti, sekarang saya mau bahas soal Kotabaru dulu.
***
Sesuatu yang bersejarah dan masih dapat dinikmati sampai saat ini tentulah memiliki nilai lebih ketimbang hal yang baru. Apalagi apabila kondisinya masih sama detilnya dari masa lalu hingga masa kini. Selalu ada gumaman tercetus “Ooo jadi dulu seperti ini ya” dibarengi rasa kagum, tatkala melihat barang-barang lawas di era milenial saat ini. Ya, Tentunya juga tergantung perspektif masing-masing orang. Tapi saya berasumsi penuh bahwa njenengan sekalian lebih mencintai hal-hal berbau klasik ketimbang modern kontemporer.
Sama seperti Vespa tua bapak saya, Kawasan Kotabaru memiliki persamaan. Keduanya sama-sama tua. Tapi yang satunya dalam kondisi yang lebih baik, ketimbang yang satunya lagi.
Dengan statusnya yang sudah tua, Kotabaru bersama lima kawasan lainnya ditetapkan  sebagai Kawasan Cagar Budaya. Penetapan cagar budaya ini berfungsi untuk melindungi Kotabaru dari tangan-tangan jahil yang tidak peka dengan kawasan lama. Penetapan ini bukan tanpa alasan. Meskipun pada RDTR Kota Yogyakarta Kotabaru sempat di-kick dari KCB di Kota Yogyakarta sebelum akhirnya dikonfrontasi banyak pihak, bangunan-bangunan Kotabaru juga mayoritas memenuhi kriteria dari Cagar Budaya menurut UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Intinya, dalam UU no 11 tahun 2010, bangunan dapat dikatakan Cagar Budaya apabila berusia 50 tahun, bergaya paling singkat berusia 50 tahun, punya arti khusus bagi sejarah, dan punya nilai budaya dan penguatan kepribadian bangsa. Secara umum, semuanya dipenuhi oleh Kotabaru sehingga tepat untuk dikatakan sebagai Kawasan Cagar Budaya, karena terdiri atas banyak bangunan Cagar Budaya.
Nah pertanyaan besarnya, dengan statusnya sebagai Kawasan Cagar Budaya, bolehkah melakukan pembangunan di kawasan Kotabaru? Oke dipersempit. Bolehkah melakukan perubahan pada bangunan cagar budaya di Kotabaru?
Sepengetahuan saya jawabannya, antara Boleh dan Tidak Boleh. Agak mengesalkan memang kalau disodori pertanyaan yang jawabannya antara Iya dan Enggak tapi jawabannya iya bisa, enggak juga bisa. Hidup zaman sekarang memang aneh.
Dalam Peraturan Menteri PU No 01/2015 tentang bangunan Cagar Budaya, secara gamblang dijelaskan bahwa: Penyelenggaraan bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan harus mengikuti prinsip: a. sedikit mungkin melakukan perubahan; sebanyak mungkin mempertahankan keaslian; dan tindakan perubahan dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Mohon panjenengan sekalian menggarisbawahi kalimat “sedikit mungkin melakukan perubahan”. Dengan mengacu pada pernyataan ini, perubahan pada bangunan dapat sangat mungkin dilakukan, asal “sedikit”. “Sedikit” dalam konteks ini apabila dilakukan persentase, maksimal perubahan kira-kira 15-20% bentuk asli bangunan. Makin orisinil makin baik.
Oleh karena itu, pembangunan di Kotabaru hendaknya tetap mempertahankan bentuk bangunan yang ada namun dapat melakukan “sedikit” perubahan, seperti mengganti bahan struktur bangunan dengan yang lebih tahan lama, mengubah layout dalam bangunan, dan lain-lain yang bersifat minor. Tapi hal-hal besar seperti mengubah bentuk, mengubah tampak muka, apalagi menghancurkan bangunan adalah hal yang sangat dilarang. Bahkan mengubah warna cat pun adalah hal yang diharamkan.
Maka dari itu saya cenderung mendukung alih fungsi bangunan-bangunan di Kotabaru menjadi hal-hal yang berbau ekonomi atau non-residential seperti cafe, salon, perpustakaan, dan lain-lain, dengan catatan tidak mengubah bentuk dan tampak muka bangunan sama sekali. Dengan begitu livabilitas kawasan didapat, nilai tambah sebagai kawasan wisata juga didapat. Bukankah generasi milenial masa kini lebih senang cafe-cafe berbau vintage, retro, nan Instagrammable

Tapi saya juga setuju-setuju saja kok apabila Kotabaru tetap dijadikan perumahan. Hehehe

  • Share:

You Might Also Like

0 comments