Sebelum
melanjutkan tulisan saya terkait mengubah wajah Kridosono, saya ingin membuat
analogi gawe-gawean antara Kotabaru yang merupakan kawasan di Kridosno dengan
Vespa PX tahun 90-an kepunyaan Bapak saya. Sedikit cerita, saya kebetulan
tergabung dalam salah satu komunitas Jual-Beli Vespa Jakarta di media sosial bikinan
mas Mark Zuckerberg. Bukan anggota aktif, melainkan cuma ingin tahu tentang
seluk beluk vespa lebih jauh.
Asal
muasal saya mengikuti forum ini karena saya diberi titah teramat sangat besar
dari Bapak saya. Bapak saya pada masa mudanya boleh dikatakan teramat hipster.
Saban hari, pada era muda bapak saya, belio bersama Vespa-nya selalu
melaju dari Cijantung-Salemba untuk kuliah ataupun bekerja. Di sela-sela
waktunya, tidak lupa mampir ke Tomang untuk bersua dengan pacarnya (yang kelak
menjadi ibu saya).
Tidak
pakai vespa tentunya. Jauh kali itu Cijantung ke Tomang.
Nah,
karena merasa saya sudah cukup besar untuk diberi tanggungan, maka Vespa yang
dulu dipakai bapak saya untuk bepergian, “diwariskan” kepada saya. Si Vespa
diharapkan untuk diperbaiki dan dihidupkan kembali, setelah 17 tahun yang lalu
dipensiunkan bapak saya.
Alamak, batin saya. Aduhai mengapa kiranya tugas berat nan mulia ini
dilimpahkan kepada hamba. Bukan tanpa alasan, si Vespa ini sudah 17 tahun
tidak merasakan mesinnya dialiri bensin premium, tidak merasakan disela dengan
khidmat pada pagi hari, dan tidak merasakan kerasnya jalanan Jakarta.
Khawatirnya ketika dihidupkan kembali, si Vespa ini langsung ngambek
sejadi-jadinya karena diduakan dengan Kijang Grand Extra 1995 yang menggantikan
peran pokok si Vespa.
Si
Vespa sampai saat ini memang belum dihidupkan kembali, karena saya sendiri
belum sempat kembali ke rumah untuk mencari bengkel yang tepat. Feeling saya
mengatakan, si Vespa harus dibongkar habis-habisan. Lagipula saya juga merasa,
ketimbang membenarkan si Vespa, kenapa tidak beli motor baru yang lebih gres
dan terjamin kualitasnya. Ya syukur-syukur Vario atau Mio. Atau mungkin naik
kelas sedikit ke Ninja 250R atau Ducati Monster?
Dalam
satu kesempatan saya bertanya, “Yah, kenapa ga beli motor baru aja, daripada si
Vespa dibetulin? Lagipula harganya sama aja toh?” tanya saya penuh penasaran,
karena ketika kuliah di Jogja saya belum pernah sekalipun merasakan sensasi
naik motor dari kosan ke kampus.
“Duh
nak, Vespa itu nilai historisnya besar sekali. Semakin tua vespa ini, semakin
langka dan antik. Tak tergantikan rasanya kalau naik vespa daripada naik motor
biasa. Lah ini aja sekarang udah banyak yang nawar, enggak bakal ayah lepas”
balas bapak saya dengan santai.
Tak
tega jadinya rasanya membiarkan vespa yang memegang peran penting dalam
kehidupan Bapak saya teronggok menjadi besi tua. Oleh karena itu, sejak saat
itu, hingga detik ini, saya bertekad untuk menghidupkan kembali si Vespa
seperti zaman kejayaannya dahulu kala.
Tapi
itu urusan nanti, sekarang saya mau bahas soal Kotabaru dulu.
***
Sesuatu
yang bersejarah dan masih dapat dinikmati sampai saat ini tentulah memiliki
nilai lebih ketimbang hal yang baru. Apalagi apabila kondisinya masih sama
detilnya dari masa lalu hingga masa kini. Selalu ada gumaman tercetus “Ooo jadi
dulu seperti ini ya” dibarengi rasa kagum, tatkala melihat barang-barang lawas
di era milenial saat ini. Ya, Tentunya juga tergantung perspektif masing-masing
orang. Tapi saya berasumsi penuh bahwa njenengan sekalian lebih
mencintai hal-hal berbau klasik ketimbang modern kontemporer.
Sama
seperti Vespa tua bapak saya, Kawasan Kotabaru memiliki persamaan. Keduanya
sama-sama tua. Tapi yang satunya dalam kondisi yang lebih baik, ketimbang yang
satunya lagi.
Dengan
statusnya yang sudah tua, Kotabaru bersama lima kawasan lainnya ditetapkan
sebagai Kawasan Cagar Budaya. Penetapan cagar budaya ini berfungsi untuk
melindungi Kotabaru dari tangan-tangan jahil yang tidak peka dengan kawasan
lama. Penetapan ini bukan tanpa alasan. Meskipun pada RDTR Kota Yogyakarta
Kotabaru sempat di-kick dari KCB di Kota Yogyakarta sebelum akhirnya
dikonfrontasi banyak pihak, bangunan-bangunan Kotabaru juga mayoritas memenuhi
kriteria dari Cagar Budaya menurut UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Intinya,
dalam UU no 11 tahun 2010, bangunan dapat dikatakan Cagar Budaya apabila
berusia 50 tahun, bergaya paling singkat berusia 50 tahun, punya arti khusus
bagi sejarah, dan punya nilai budaya dan penguatan kepribadian bangsa. Secara
umum, semuanya dipenuhi oleh Kotabaru sehingga tepat untuk dikatakan sebagai
Kawasan Cagar Budaya, karena terdiri atas banyak bangunan Cagar Budaya.
Nah
pertanyaan besarnya, dengan statusnya sebagai Kawasan Cagar Budaya, bolehkah
melakukan pembangunan di kawasan Kotabaru? Oke dipersempit. Bolehkah melakukan
perubahan pada bangunan cagar budaya di Kotabaru?
Sepengetahuan
saya jawabannya, antara Boleh dan Tidak Boleh. Agak mengesalkan memang kalau
disodori pertanyaan yang jawabannya antara Iya dan Enggak tapi jawabannya iya
bisa, enggak juga bisa. Hidup zaman sekarang memang aneh.
Dalam
Peraturan Menteri PU No 01/2015 tentang bangunan Cagar Budaya, secara gamblang
dijelaskan bahwa: Penyelenggaraan bangunan gedung cagar budaya yang
dilestarikan harus mengikuti prinsip: a. sedikit mungkin melakukan perubahan;
sebanyak mungkin mempertahankan keaslian; dan tindakan perubahan dilakukan
dengan penuh kehati-hatian.
Mohon
panjenengan sekalian menggarisbawahi kalimat “sedikit mungkin
melakukan perubahan”. Dengan mengacu pada pernyataan ini, perubahan pada
bangunan dapat sangat mungkin dilakukan, asal “sedikit”. “Sedikit” dalam
konteks ini apabila dilakukan persentase, maksimal perubahan kira-kira 15-20%
bentuk asli bangunan. Makin orisinil makin baik.
Oleh
karena itu, pembangunan di Kotabaru hendaknya tetap mempertahankan bentuk
bangunan yang ada namun dapat melakukan “sedikit” perubahan, seperti mengganti
bahan struktur bangunan dengan yang lebih tahan lama, mengubah layout dalam
bangunan, dan lain-lain yang bersifat minor. Tapi hal-hal besar seperti
mengubah bentuk, mengubah tampak muka, apalagi menghancurkan bangunan adalah
hal yang sangat dilarang. Bahkan mengubah warna cat pun adalah hal yang
diharamkan.
Maka
dari itu saya cenderung mendukung alih fungsi bangunan-bangunan di Kotabaru
menjadi hal-hal yang berbau ekonomi atau non-residential seperti cafe,
salon, perpustakaan, dan lain-lain, dengan catatan tidak mengubah bentuk dan
tampak muka bangunan sama sekali. Dengan begitu livabilitas kawasan didapat,
nilai tambah sebagai kawasan wisata juga didapat. Bukankah generasi milenial
masa kini lebih senang cafe-cafe berbau vintage, retro, nan Instagrammable?
Tapi saya juga setuju-setuju saja kok apabila Kotabaru tetap dijadikan perumahan. Hehehe
Tapi saya juga setuju-setuju saja kok apabila Kotabaru tetap dijadikan perumahan. Hehehe
0 comments