Jalan-Jalan Masjid #7 : Sebuah Cerita Pak Becak

By Padu Padan Kata - 11:06 PM



Selasa, 8 Juli 2014 (Cirebon)
Masih teringat di benak saya hingga saat ini, suasana di dalam Kereta Menoreh yang membawa saya dari Semarang ke Cirebon. Terang dan senyap. Meskipun saya dan teman-teman mendapatkan kereta persis di belakang lokomotif, namun deru mesin General Electric lokomotif di depan kereta tidak terlalu terdengar. Beberapa penumpang yang sudah membawa alas dari rumah, mengambil posisi dan tidur di lantai kereta. Yap, pada saat itu tidur di lantai kereta adalah kemewahan yang paling hakiki di level kereta ekonomi.
Penumpang kereta terbuai dalam alunan gesekan roda kereta dengan rel. Membelah jalur utara Jawa. Jes jes jes jes…
Perjalanan dari Semarang Tawang menuju Cirebon ditempuh hanya dalam waktu kurang lebih 3 jam. Serupa dengan perjalanan saya dari Jakarta menuju Semarang, saya menikmati perjalanan dengan tidur. Sesekali membuka si Nokia untuk mengecek jam dan mencari informasi angkutan umum di Cirebon. Dengan koneksi EDGE yang saat itu masih dapat dibanggakan, tidak banyak informasi yang bisa saya dapatkan.
Sebagai gambaran, perjalanan kami ke Cirebon betul-betul tidak terencana dan di antara kami berlima tidak ada seorang pun yang pernah sama sekali mengunjungi Kota Udang ini. Saya pun hanya mengetahui Cirebon sebagai titik patokan saya yang menandakan kereta yang saya tumpangi dari Yogyakarta akan tiba 3 jam lagi di Jakarta.
Meskipun buta arah dan buta informasi tujuan, tetapi kami punya satu tujuan utama. Masjid Agung Kasepuhan (MAK) atau juga dikenal Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Namanya juga jalan-jalan Masjid, ya perginya ke masjid.
Beberapa saat mendekati Stasiun Cirebon Prujakan, saya membangunkan teman-teman yang bentukannya sudah tidak karuan. Suasana di luar kereta yang gelap karena malam hari dan rasa was-was terbawa kereta sampai Pasar Senen membuat kami sudah bersiap-siap sebelum memasuki Stasiun Cirebon Prujakan. Apalagi pada saat itu pengumuman ketibaan kereta hanya keluar dari speaker yang suaranya kecil sekali.
Terdapat dua stasiun di Kota Cirebon ini, Cirebon Prujakan dan Cirebon. Nah, sepenangkap saya, keduanya ini berfungsi layaknya Stasiun Gambir-Pasar Senen atau Stasiun Lempuyangan-Tugu, membagi penumpang ekonomi dan bisnis-eksekutif. Dari fasilitas pun juga sangat berbeda jauh. Jumlah peron memang sama, namun untuk ruang tunggu penumpang apabila dibandingkan keduanya, masih lebih mewah Stasiun Cirebon. Ono rego ono rupo, ada harga ada rasa.
Samar-samar, lampu rumah-rumah warga yang berdempetan mulai terlihat, menghiasi pekatnya malam. Pukul 12 lebih sedikit, masinis mulai memperlambat laju kereta. Tak berapa lama, purser kereta mengabarkan kepada penumpang bahwa kereta telah tiba di Stasiun Cirebon Prujakan melalui speaker yang volumenya kecil sekali. Selamat Datang di Cirebon!
Senang rasanya tiba di Cirebon. Namun, euforia bertahan tak lama. Muncul pertanyaan besar di benak kami. Apa yang kita lakukan sekarang? Tengah malam, tidak tahu menahu soal Cirebon, dan tidak tahu mau apa selain ke Masjid Kasepuhan. Komplet sudah.
Beruntungnya, kami menemukan sebuah mushola kecil di bagian barat stasiun. Mushola tersebut berada di bagian dalam area khusus penumpang stasiun sehingga yang dapat menggunakannya hanya penumpang. Karena tidak punya tempat tujuan, kami bersepakat untuk beristirahat di mushola sembari menunggu waktu sahur. Meskipun saat itu terdapat tulisan besar-besar bertuliskan “DILARANG TIDUR DI MUSHOLA”.
Tak lama, kami terlelap dalam dengkuran masing-masing.
***
Alarm si Nokia berbunyi kencang. Waktunya sahur. Tantangan berikutnya, menemukan tempat sahur.
Kami pun bertanya kepada bapak satpam yang berada di pintu keluar stasiun. Dengan baik hati, beliau menunjukkan tempat makan yang berada di dekat stasiun. Bergegaslah kami menuju tempat makan yang dimaksud.
Kondisi di luar stasiun sangat sepi. Ketika keluar dari pintu stasiun, beberapa pembecak dan sopir taksi mencegat kami. Namun karena masih pagi-pagi buta, para sopir dan pembecak tidak sesemangat biasanya.
Rupanya, tempat makan yang dimaksud pak satpam berupa warung kecil di pintu masuk gang kecil yang terletak tidak jauh dari Stasiun. Tempat makannya hanya berupa kursi kecil dan sebuah meja. Untuk mengatasi keterbatasan lahan, bapak penjual memanfaatkan jalan gang sebagai “dapur” mini berisikan kompor dua tungku dan etalase kaca kecil untuk menaruh masakan si bapak.
Menu sajian yang terpilih dari etalase kaca si bapak terdiri atas: nasi, telur balado, dan sayur. Tidak lupa segelas teh hangat untuk menghangatkan badan. Si bapak sendiri yang mengambilkan lauk dan nasi untuk kami santap.
Selepas santap sahur, kami sempat berdiskusi kecil, langsung menuju Masjid Agung Kasepuhan (MAK) atau kembali ke stasiun sembari menunggu terang. Berdasarkan lokasi di Google Maps yang saya akses melalui Opera Mini, lokasi MAK tidaklah terlalu jauh. Hanya 6 kilo. Namun kalau berjalan kaki niscaya bakalan gempor.
Untungnya bapak penjual makan tadi mendengar diskusi kecil kami. Beliau pun memanggil dua orang pembecak yang kebetulan juga sedang bersantap sahur. Perkara mengenai agenda selanjutnya, usai setelah kami bersepakat untuk menggunakan jasa bapak pembecak itu.
Saya dan Deni berdua dalam satu becak, sedangkan Alan, Wawan, dan Ardi bertiga. Derit gir becak dan helaan napas bapak pebecak membelah sunyinya dini hari. Tak lama, beliau membuka pembicaraan.
“Asli mana mas?”
Sontak kami menjawab.
“Saya Bekasi pak,”
“Semarang pak,” jawab Deni singkat.
Si bapak tidak melanjutkan cerita lagi.
“Bapak setiap hari mangkal di Stasiun pak?” tanya saya membuka percakapan lagi. Ganjil rasanya berdiam-diaman.
“Enggak juga kebetulan lagi ada istri aja,” jawab si bapak. “Istri saya ada tiga mas; satu di Prujakan, satu di Cirebon (stasiun), sama satu lagi di terminal, hahaha.”
WEH?! Nampaknya obrolan yang saya kira akan berakhir dengan ke-awkward-an, ternyata menarik untuk dilanjutkan.
“Wah begitu pak?” tanya saya semakin penasaran.
“Iya dulu saya di Stasiun Cirebon kawin sama istri yang pertama, abis itu pindah ke terminal nikah lagi. Saya pindah ke Prujakan kawin lagi deh sama istri saya yang terakhir hahaha,” terang si bapak. Napasnya makin berat, mungkin karena saking bersemangatnya menjelaskan.
Tidak banyak detil percakapan yang saya ingat saat itu. Seingat saya, si bapak berbincang soal anaknya yang banyak dari ketiga istrinya, “nikmatnya” beristri tiga, hingga permasalahan dengan ketiga istrinya. Saya dan Deni yang masih baru lulus SMA setahun lalu hanya senyum-senyum tidak mengerti. Hehehe.
Kajian pagi bertajuk “Seorang pebecak di Cirebon yang punya istri di tiap stasiun dan terminal” selama 10 menit berakhir setelah becak kami merapat di MAK. Waktu menunjukkan hampir pukul 5. Terdengar sayup-sayup suara Iqamah dari speaker masjid. Bergegaslah kami menuju ke dalam Masjid. Tak lupa sejumlah uang jasa buat bapak pembecak.

Terima kasih pak, ceritamu sungguh menginspirasi pagiku kali ini.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments