Selasa, 8 Juli 2014
(Cirebon – habis)
Selepas Saya dan Deni menyimak “Tausyiah” pagi dari Pak Becak
(simak ceritanya di sini), kami segera bergabung dengan jamaah lainnya untuk
menunaikan shalat subuh berjamaah. Imam pun sudah mulai mengumandangkan takbiratul
ikhram ketika kami baru bersiap mengambil air wudhu. Lepas itu, langsung
kami segera mengambil posisi di barisan di saf paling belakang.
Seingat saya, selepas shalat subuh, takmir masjid mengadakan
kajian yang dipimpin oleh seorang ustad. Selepas berzikir dan berdoa bersama,
jamaah langsung mencari posisi paling pewe, tiang masjid. Tapi saya
tidak ingat jelas apa yang dibawakan dari pak ustad. Mungkin juga karena ketika
pak ustad sedang menyampaikan tausyiahnya, saya sedang tertidur pulas.
Suasana di dalam Masjid Agung Kasepuhan Cirebon |
Namun usut punya usut, berdasarkan hasil jelajah di Wikipedia,
Keraton Kasepuhan Cirebon ternyata lebih dulu ada ketimbang Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Selain itu, dikutip dari sumber yang sama yang
(semoga) valid, gaya arsitektur Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terinspirasi
oleh Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pintu masuk masjid |
***
Seketika matahari mulai menampakkan diri, saya bersiap untuk
menjelajah kawasan sekitar MAK. Teman-teman lainnya sudah terlebih dahulu
mengandaskan diri di selasar masjid. Saya pun juga merasakan kantuk yang luar
biasa, namun tetap saya tahan karena tidak enak rasanya kalau jauh-jauh pergi
hanya dihabiskan untuk leyeh-leyeh.
Dalam Jalan-Jalan Pagi ini, saya tidak terlalu banyak menemukan
hal yang menarik. Suasana kota Cirebon ini persis sekali dengan Bekasi. Namun
ada salah satu objek yang menarik. Ketika saya berjalan menyusuri salah satu
ruas jalan, saya menemukan satu masjid yang katanya merupakan masjid tertua di
Cirebon. Jauh lebih tua dibanding MAK. Masjid Pejlagrahan namanya.
Masjid Pejlagrahan yang usianya jauh lebih tua daripada Masjid Agung Kasepuhan Cirebon |
Ekspedisi Kraton Kasepuhan Cirebon
Jam 8 tepat, saya dan teman-teman meninggalkan MAK. Bersiap menuju
destinasi terakhir dalam Jalan-Jalan Masjid; Keraton Kasepuhan Cirebon. Kami
berangkat pagi-pagi sekali karena Deni dan Alan pukul 10 akan kembali ke
Semarang.
Sesampainya di sana, keraton rupanya baru saja buka. Kami membayar
tiket masuk, kalau tidak salah 8 ribu Rupiah per orang. Lumayan harga standar
untuk wisata kraton. Karena berlagak celingak-celinguk seperti mahasiswa baru
ketika ospek, seorang penjaga keraton mendatangi kami.
“Mau lihat-lihat mas? Mari saya antarkan” seketika sang bapak
menawarkan jasa pemandu wisata.
Karena sudah kadung ingin berhemat, jadinya kami tolak dengan
hormat tawaran jasa sang bapak. Kami bukannya tidak menghargai tawaran sang
bapak, tapi yaaa lebih hemat lebih baik bukan?
“Ga usah bayar mas, gratis,” tak disangka si bapak mengucapkan
jurus sakti. CLING! Karena terpengaruh tawaran sang bapak, jadilah kami terima
tawaran si bapak.
Satu petuah yang harus diingat baik-baik, jangan menolak rezeki.
Suasana di dalam Keraton Kasepuhan Cirebon |
Ya |
Kereta Kencana Singa Barong bikinan cucu Sunan Gunung Jati medio abad ke-15 |
Karena jadwal keberangkatan kereta sudah mepet, Alan dan Deni
menggunakan jasa becak, bertolak kembali ke Cirebon Prujakan. Saya, Wawan, dan
Ardi yang jadwal keretanya masih sekitar jam 3, memutuskan pergi mencari
tempat-tempat wisata lainnya di Cirebon. Karena tidak punya referensi mau
kemana, maka kami memutuskan untuk pergi mengikuti kaki kami melangkah.
Kota Tua Cirebon |
Selepas zuhur, kami memutuskan untuk berjalan kaki dari Masjid
Raya At Taqwa ke Stasiun Prujakan karena ingin jalan-jalan. Akhirnya setelah 1
jam berjalan, kami tiba di Stasiun Prujakan. Aksi nekat jalan-jalan siang
bolong ini memakan satu korban, yakni Ardianto yang sudah kandas kehausan di
tengah perjalanan.
Jalan-Jalan Masjid pun resmi diakhiri ketika Kereta Bogowonto
membawa saya menuju ibukota dan Kereta Bengawan membawa Ardi dan Wawan kembali
ke Yogyakarta. Sebuah pengalaman yang luar biasa selama 5 hari 4 malam
menjelajahi masjid-masjid berukuran gigantis hingga masjid berukuran mini,
bertemu beragam orang dan budaya, merasakan kerasnya Pantura, dan pengalaman
lain yang tentunya lebih baik dirasakan langsung ketimbang diceritakan.
Akhir dari Ujung
Jalan-Jalan Masjid pun resmi
diakhiri ketika Kereta Bogowonto membawa saya menuju ibukota dan Kereta
Bengawan membawa Ardi dan Wawan kembali ke Yogyakarta, merapat di Stasiun
Prujakan. Saya ke barat, mereka ke timur.
Akhir cerita, Jalan - Jalan Masjid
memberikan sebuah pengalaman istimewa. Sebuah pengalaman yang luar biasa selama
5 hari 4 malam menjelajahi masjid-masjid berukuran gigantis hingga masjid
berukuran mini, bertemu beragam orang dan budaya, merasakan kerasnya Pantura,
dan pengalaman lain yang tentunya lebih baik dirasakan langsung ketimbang
diceritakan. (Lanjut di Epilog)
0 comments