Apabila mencermati definisi kawasan perdesaan secara global
ataupun secara lokal (di Indonesia), pasti akan ditemukan kesamaan. Kawasan
perdesaan berhubungan dengan pinggiran dan pertanian. Atau simpelnya deh, coba panjenengan
sedoyo membuka situs Google dan masukkan kata kunci Desa. Pasti yang akan
muncul adalah suasana hijau royo-royo, gotong royong, petani, hingga Si Kerbau.
Sekilas definisi kawasan perdesaan yang ada memang cukup benar,
tapi tidak terlalu tepat menurut saya.
Oke, coba kita ulik dari definisi kawasan perdesaan menurut UU No
6 tahun 2014 kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi. Garis bawahi tiga kata di definisi menurut UU no 6 tahun
2014; kegiatan, utama, dan pertanian.
Ini yang membuat saya heran.
Boi, zaman sudah berubah semenjak definisi tentang Kawasan
Perdesaan dititahkan. Masyarakat desa pun makin kreatif soal apa yang mereka
kerjakan untuk mengembangkan desanya. Pertanian memang masih menjadi mayoritas
kegiatan dalam menopang perekonomian penduduk, tapi yakin masih tidak melihat
kegiatan lain?
Desa Yang Tidak Bertani
Hampir setahun yang lalu, saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di
salah satu desa di bagian timur Kabupaten Kulon Progo, Desa Gulurejo namanya.
Desa yang berada di Kecamatan Lendah ini berada persis di bagian barat dari
Kali Progo yang termasyhur itu. Jadi kalau saya menyeberang Kali Progo dengan
getek atau memutar lebih jauh melalui Bendung Sapon atau Jembatan Srandakan di
sisi selatan, saya sudah tiba di Kabupaten Bantul.
Gulurejo yang pas berada di barat Kali Progo |
KKN berjalan cukup lancar meskipun ada beberapa insiden-insiden
kecil termasuk kejadian mistis. Ya saya rasa hal-hal mistis memang selalu
menjadi bumbu pemanis KKN di samping cerita cinta. Tapi karena saya tidak ada
cerita cinta di KKN, jadi yang tersisa hanya kisah-kisah mistis yang berhasil
membuat satu rumah merinding disko. Masyarakat Gulurejo pun menyambut baik kami
yang ber-KKN dan saya menemukan banyak sekali keunikan seperti tradisi
keagamaan dan sosial yang tidak saya temui di kampung saya.
Nah, masuk ke topik. Desa Gulurejo ini bukan seperti desa-desa
kebanyakan yang sering ditemui. Mayoritas masyarakat, ketiga dusun dari 10
dusun yang ada, berprofesi sebagai pembatik. Awalnya saya benar-benar terkejut.
Lah ini di desa yang jauh dari jalan besar dan dikelilingi bukit-bukit serta
Kali Progo, masyarakatnya mampu mengembangkan sentra batik berskala nasional
hingga internasional. Kalau posisinya persis di pinggir Jalan Bantul atau Jalan
Parangtritis, saya masih memakluminya karena ya pasti dekat dengan target
pembeli.
Sebetulnya desa sebelah juga mempunyai industri-industri batik
sebagai kegiatan utama. Tapi menurut saya masih kalah pamor dari Gulurejo ini
hehe.
Usut punya usut, awalnya mayoritas penduduk desa ini merupakan
buruh pabrik batik-batik yang berada di Kota Yogyakarta. Nah, pada tahun 2008
masyarakat di beberapa dusun di Desa Gulurejo menyatakan dirinya untuk
“merdeka” dari industri batik di Kota Yogyakarta dan mengembangkan usaha batik
secara lokal yang tetap berlanjut hingga sekarang. Awalnya hanya beberapa
pengusaha batik namun lambat laun jumlahnya semakin meningkat.
Foto Ibu-Ibu mBatik di Desa Gulurejo |
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo tidak tinggal diam melihat
potensi unik ini. Melalui peran Bupati Kulon Progo yang menekankan jargon “Bela
Beli Kulon Progo”, nama Gulurejo sebagai Desa Pembatik semakin santer di
telinga masyarakat. Yap, pada tahun 2010, Desa Gulurejo kebanjiran pesanan
batik karena Pemerintah Kabupaten Kulon Progo mewajibkan seluruh instansi dan
seluruh tingkatan pendidikan menggunakan batik buatan Gulurejo. Hingga pada
akhirnya pada tahun 2014 (kalau tidak salah), Bupati Kulon Progo meneken
peresmian Gulurejo sebagai Desa Wisata Batik.
Plok plok plok, masyarakat bahagia, saya juga bahagia. Balon
dilepaskan, merpati diterbangkan.
Ultra Generalisasi dan Penyempitan Makna Kawasan Perdesaan
Nah dari kasus dj atas, apabila masih berpatokan pada definisi
Kawasan Perdesaan versi UU Desa, tentu ada sedikit miskonsepsi dalam penentuan
jenis kegiatan utama di kawasan perdesaan. Disebutkan bahwa kegiatan utama di
desa adalah bertani. Saya berpandangan bahwa definisi yang ada terlalu
men-generalisasi apa yang dimaksud dengan desa dan seisinya. Jadi ya yang ada
di benak saya (dan mungkin teman-teman semua) yang dimaksud dengan desa atau
kawasan perdesaan ya hanya berurusan dengan tanam-menanam, sawah, kerbau, dan
petani yang mencabut padi hasil panen dibarengi seorang pemilik partai seperti
dalam iklan salah satu lembaga politik.
Sekali lagi, seperti yang sudah saya utarakan di atas, definisi
ini tidak salah namun kurang tepat. Dengan perspektif dan definisi yang sangat
sempit ini, potensi lain yang ada di desa seakan-akan termarjinalkan. Padahal
kita tahu sendiri, ada beberapa kawasan perdesaan yang tidak mengusung tema
pertanian sebagai tema utama kawasan perdesaan, seperti Gulurejo misalnya atau
kawasan Gili Indah di Lombok yang bergantung pada pariwisata yang sepengamatan
saya sama sekali tidak melakukan kegiatan pertanian untuk menggerakkan ekonomi
kawasan. Saya pun juga yakin masih banyak kawasan perdesaan lainnya di
Indonesia yang tidak 100% menggantungkan perekonomiannya pada kegiatan
pertanian.
Jadi apa yang bisa saya simpulkan hingga saat ini, masih terdapat
bias dalam pendefinisian kawasan perdesaan itu sendiri. Dimana yang
didefinisikan sebagai kawasan perdesaan masih terjebak pada definisi masa
lampau adalah wilayah atau kawasan yang bertani. Mungkin pada zaman dahulu,
semisal zaman Pelita IV pada Orde Baru yang menekankan swasembada pangan,
definisi kawasan perdesaan untuk kegiatan pertanian masih sangat relevan karena
kawasan perdesaan ditekankan untuk berfungsi sebagai penopang kebutuhan pangan
nusantara.
Namun dengan kondisi desa yang semakin meng-kota (dalam konteks
urbanisasi non-fisik), masyarakat desa semakin kreatif mengembangkan ekonomi
tanpa harus bergantung pada kegiatan pertanian. Apalagi sinyal internet
sekarang sudah semakin membanjiri kawasan perdesaan, yang tidak lagi membuat
kawasan perdesaan menjadi tempat yang terpencil dan jauh dari ingar bingar.
Jadi, menurut panjenengan sedoyo, apakah definisi dari kawasan
perdesaan atau desa di zaman ini perlu dikembangkan lagi atau tetap begitu saja?
0 comments