Ketika berkuliah di Yogyakarta, saya menemukan bahwa Es Teh adalah
minuman yang istimewa. Bukan menjadi yang terfavorit untuk saya nikmati memang,
tapi masih masuk ke dalam daftar minuman yang paling sering saya pesan setelah
air putih. Alasannya, ya karena murah dan enak. Cukup selembar 2 ribu rupiah
(atau 3 ribu rupiah di Burjo kapitalis), anda dapat menikmati suguhan air
seduhan teh yang sudah di-cemcem berkali-kali, dua sendok makan gula
pasir, dan satu serok es batu. Apabila ditambah sepiring gorengan ubi-tempe dan
obrolan berkualitas, beehhh kenikmatan tiada tara.
Minuman es teh ini juga menjadi penyelamat tatkala saya diajak
masuk ke kafe-kafe indie-instagrammable-nan-stylish yang suka mencantumkan
nama-nama aneh untuk menunya. Apalah Caramel Ice Fussion, Ie Macchiato Yellow
Submarine, Pistachios Vanilla Ice Blended, dan nama-nama aneh lainnya. Apabila saya
menemukan deretan menu dengan nama-nama asing, pandangan langsung saya alihkan
ke sesuatu yang memasang kata “teh”, “tea” atau “the” (apabila si pembuat menu
makanan typo). Kalau ada tambahan padanan kata “hot” atau “ice” di depan menu,
tinggal saya sesuaikan dengan waktu dan suasana di kafe. Percayalah, hal ini
berguna sekali buat teman-teman yang memiliki sifat tidak neko-neko dan tidak
suka mencoba hal-hal baru. Selain sudah pasti tidak bakal zonk, harganya
biasanya di bawah minuman-minuman aneh lainnya.
Meskipun menjadi salah satu pemicu timbulnya penyakit gula di
kalangan muda-mudi setempat, saya tetap menganggap es teh sebagai salah satu
penemuan yang paling bermanfaat bagi peradaban manusia.
Hingga saatnya, masa kontrak saya dengan kampus berakhir. Selepas
wisuda dan melepas atribut kemahasiwaan (kos-kosan, KTM, internet gratis,
burjo, dan mirota kampus) saya kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kehidupan.
Enaknya di Jakarta, kebutuhan gizi saya terjamin dengan baik. Minimal asupan 4
Sehat 5 Sempurna tercukupi dengan baik. Namun ada yang saya sesalkan
HARGA ES TEH DI JAKARTA RATA-RATA 5.000, BOI!
Fakta ini saya dapatkan ketika minggu-minggu pertama masuk kantor.
Sebagai ex-mahasiswa, pilihan makanan yang penting mengenyangkan dan tidak overpriced,
jelas menjadi prioritas utama. Bukan bermaksud pelit, tapi lebih baik
kelebihannya ditabung untuk yang lain. Mungkin untuk kebutuhan masa depan jangka
pendek atau juga jangka panjang.
Alhasil di minggu-minggu pertama saya sibuk mencari warung dengan
harga yang masuk di akal dan di kantong. Pencarian saya tidak sia-sia. Saya
menemukan satu warung yang menjual seporsi nasi rames dengan harga Rp 10.000
per sekali makan. Per sekali makan loh ya, bukan per lauk. Lauk ayam bayarnya
Rp 10.000, lauk telur bayarnya Rp 10.000, lauk sayur bening bayarnya Rp 10.000.
Agak mencurigakan memang. Namun karena orang-orang satu kantor yang langganan
di warung tersebut tetap sehat-sehat saja, saya simpulkan bahwa ini merupakan
model bisnis baru. Mungkin ingin mencoba konsep satu harga dengan sistem all
you can eat kayak restoran-restoran Jepang.
Nah, di kesempatan itu, saya tengah mengisi perut ditemani teman
saya, sebut saja namanya si Bro. Si Bro ini merupakan warga negara Tegal
yang sudah lama tinggal di Jakarta. Oleh karena itu bahasa ngapak-nya sudah
banyak tergantikan dengan bahasa elu-gua Jakarta. Sama-sama menyandang status
ex-mahasiswa, saya dan dia mengambil lauk yang sama dengan nasi yang
menggunung. Sampailah saat dimana si ibu-ibu penjual menanyakan minuman untuk
disajikan.
Standar minuman di warung ini adalah teh tawar. Namun pembeli bisa
meng-custom pesanan sesuai kehendaknya. Saya biasanya menggantinya
dengan air putih karena sedang dalam tahap hijrah ke hidup yang lebih sehat, wqwqwq.
Oleh karena itu, saya berpesan ke si Ibu penjual supaya menyajikan segelas air
putih (atau air bening ya?).
Beda dengan si Bro, dengan mantapnya dia berkata. “ES TEH SATU YA
BU!”. Wah sudah lama sekali saya tidak mendengar kata-kata ajaib ini. Sempat
ada godaan untuk mengikuti pesanan si Bro, namun saya urungkan demi hidup yang
lebih sehat wal afiat.
Makanan sudah habis, menyisakan kilatan-kilatan minyak di dasar piring.
Tibalah saat pembayaran. Karena sudah beberapa hari menemukan keajaiban “Nasi
Ceban”, alhasil saya tinggal menyodorkan selembar 10 ribuan yang langsung
diambil ibu penjual. Tinggallah si Bro untuk membayar.
“Berapa bu?”
“Nasi 10 ribu, es teh 5 ribu”
Sejak si ibu mengatakan ini, saya yang mendengarnya langsung
terkejut. Seakan-akan dunia langsung berputar balik. Lima ribu untuk segelas
es teh itu pemerasan!
Duh boi, sebagai bekas mahasiswa di kota dengan biaya hidup
termurah se-jagat raya, es teh 5.000 Rupiah jelas merupakan penodaan terhadap
kesucian es teh sebagai minuman semua kalangan. Sederhananya seperti ini, es
teh ini merupakan perlambangan dari minuman yang mudah dibuat oleh semua orang,
dibuat dengan bahan dasar yang mampu dijangkau semua orang, dan tentunya
(sedikit) menyehatkan. 2000 jelas sudah pas untuk menggambarkan kesederhanaan
yang menjadi filosofi utamanya. Es Teh 5000? Pffftttt...
Saya tidak tahu apa yang terjadi antara es teh di Jakarta dengan
di Jogja. Apa mungkin karena Jakarta semua harganya serba mahal? Apa mungkin
karena daun teh-nya menggunakan daun yang sama dengan yang dikonsumsi oleh
Queen Elizabeth II di Buckingham Palace sana? Atau mungkin ada pengenaan pajak
impor daun teh untuk area DKI Jakarta dan sekitarnya?
Apa jangan-jangan karena Jokow*? Apa karena Prabow*? Apa ini semua
salah Ah*k? Apa jangan-jangan ada kebijakan Ani*s di belakang polemik es teh
ini?
Mungkin hanya Tuhan dan para penjual es teh yang
tahu…
0 comments