Polemik Es Teh

By Padu Padan Kata - 11:47 PM


Ketika berkuliah di Yogyakarta, saya menemukan bahwa Es Teh adalah minuman yang istimewa. Bukan menjadi yang terfavorit untuk saya nikmati memang, tapi masih masuk ke dalam daftar minuman yang paling sering saya pesan setelah air putih. Alasannya, ya karena murah dan enak. Cukup selembar 2 ribu rupiah (atau 3 ribu rupiah di Burjo kapitalis), anda dapat menikmati suguhan air seduhan teh yang sudah di-cemcem berkali-kali, dua sendok makan gula pasir, dan satu serok es batu. Apabila ditambah sepiring gorengan ubi-tempe dan obrolan berkualitas, beehhh kenikmatan tiada tara.
Minuman es teh ini juga menjadi penyelamat tatkala saya diajak masuk ke kafe-kafe indie-instagrammable-nan-stylish yang suka mencantumkan nama-nama aneh untuk menunya. Apalah Caramel Ice Fussion, Ie Macchiato Yellow Submarine, Pistachios Vanilla Ice Blended, dan nama-nama aneh lainnya. Apabila saya menemukan deretan menu dengan nama-nama asing, pandangan langsung saya alihkan ke sesuatu yang memasang kata “teh”, “tea” atau “the” (apabila si pembuat menu makanan typo). Kalau ada tambahan padanan kata “hot” atau “ice” di depan menu, tinggal saya sesuaikan dengan waktu dan suasana di kafe. Percayalah, hal ini berguna sekali buat teman-teman yang memiliki sifat tidak neko-neko dan tidak suka mencoba hal-hal baru. Selain sudah pasti tidak bakal zonk, harganya biasanya di bawah minuman-minuman aneh lainnya.
Meskipun menjadi salah satu pemicu timbulnya penyakit gula di kalangan muda-mudi setempat, saya tetap menganggap es teh sebagai salah satu penemuan yang paling bermanfaat bagi peradaban manusia.
Hingga saatnya, masa kontrak saya dengan kampus berakhir. Selepas wisuda dan melepas atribut kemahasiwaan (kos-kosan, KTM, internet gratis, burjo, dan mirota kampus) saya kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kehidupan. Enaknya di Jakarta, kebutuhan gizi saya terjamin dengan baik. Minimal asupan 4 Sehat 5 Sempurna tercukupi dengan baik. Namun ada yang saya sesalkan
HARGA ES TEH DI JAKARTA RATA-RATA 5.000, BOI!
Fakta ini saya dapatkan ketika minggu-minggu pertama masuk kantor. Sebagai ex-mahasiswa, pilihan makanan yang penting mengenyangkan dan tidak overpriced, jelas menjadi prioritas utama. Bukan bermaksud pelit, tapi lebih baik kelebihannya ditabung untuk yang lain. Mungkin untuk kebutuhan masa depan jangka pendek atau juga jangka panjang.
Alhasil di minggu-minggu pertama saya sibuk mencari warung dengan harga yang masuk di akal dan di kantong. Pencarian saya tidak sia-sia. Saya menemukan satu warung yang menjual seporsi nasi rames dengan harga Rp 10.000 per sekali makan. Per sekali makan loh ya, bukan per lauk. Lauk ayam bayarnya Rp 10.000, lauk telur bayarnya Rp 10.000, lauk sayur bening bayarnya Rp 10.000. Agak mencurigakan memang. Namun karena orang-orang satu kantor yang langganan di warung tersebut tetap sehat-sehat saja, saya simpulkan bahwa ini merupakan model bisnis baru. Mungkin ingin mencoba konsep satu harga dengan sistem all you can eat kayak restoran-restoran Jepang.
Nah, di kesempatan itu, saya tengah mengisi perut ditemani teman saya, sebut saja namanya si Bro. Si Bro ini merupakan warga negara Tegal yang sudah lama tinggal di Jakarta. Oleh karena itu bahasa ngapak-nya sudah banyak tergantikan dengan bahasa elu-gua Jakarta. Sama-sama menyandang status ex-mahasiswa, saya dan dia mengambil lauk yang sama dengan nasi yang menggunung. Sampailah saat dimana si ibu-ibu penjual menanyakan minuman untuk disajikan.
Standar minuman di warung ini adalah teh tawar. Namun pembeli bisa meng-custom pesanan sesuai kehendaknya. Saya biasanya menggantinya dengan air putih karena sedang dalam tahap hijrah ke hidup yang lebih sehat, wqwqwq. Oleh karena itu, saya berpesan ke si Ibu penjual supaya menyajikan segelas air putih (atau air bening ya?).
Beda dengan si Bro, dengan mantapnya dia berkata. “ES TEH SATU YA BU!”. Wah sudah lama sekali saya tidak mendengar kata-kata ajaib ini. Sempat ada godaan untuk mengikuti pesanan si Bro, namun saya urungkan demi hidup yang lebih sehat wal afiat.
Makanan sudah habis, menyisakan kilatan-kilatan minyak di dasar piring. Tibalah saat pembayaran. Karena sudah beberapa hari menemukan keajaiban “Nasi Ceban”, alhasil saya tinggal menyodorkan selembar 10 ribuan yang langsung diambil ibu penjual. Tinggallah si Bro untuk membayar.
“Berapa bu?”
“Nasi 10 ribu, es teh 5 ribu”
Sejak si ibu mengatakan ini, saya yang mendengarnya langsung terkejut. Seakan-akan dunia langsung berputar balik. Lima ribu untuk segelas es teh itu pemerasan!
Duh boi, sebagai bekas mahasiswa di kota dengan biaya hidup termurah se-jagat raya, es teh 5.000 Rupiah jelas merupakan penodaan terhadap kesucian es teh sebagai minuman semua kalangan. Sederhananya seperti ini, es teh ini merupakan perlambangan dari minuman yang mudah dibuat oleh semua orang, dibuat dengan bahan dasar yang mampu dijangkau semua orang, dan tentunya (sedikit) menyehatkan. 2000 jelas sudah pas untuk menggambarkan kesederhanaan yang menjadi filosofi utamanya. Es Teh 5000? Pffftttt...
Saya tidak tahu apa yang terjadi antara es teh di Jakarta dengan di Jogja. Apa mungkin karena Jakarta semua harganya serba mahal? Apa mungkin karena daun teh-nya menggunakan daun yang sama dengan yang dikonsumsi oleh Queen Elizabeth II di Buckingham Palace sana? Atau mungkin ada pengenaan pajak impor daun teh untuk area DKI Jakarta dan sekitarnya?
Apa jangan-jangan karena Jokow*? Apa karena Prabow*? Apa ini semua salah Ah*k? Apa jangan-jangan ada kebijakan Ani*s di belakang polemik es teh ini?
Mungkin hanya Tuhan dan para penjual es teh yang tahu…

  • Share:

You Might Also Like

0 comments