Sejak “berseliweran” di jalan raya selama hampir 1 dekade terakhir,
tanpa disadari ojek dalam jaringan (daring) menjadi pemain serius dalam kancah
mobilitas masyarakat urban. Ojek yang dulunya hanya dianggap sebelah mata
karena identik dengan kendaraan masyarakat kelas bawah dan tarif “getok”, kini dimaklumkan menjadi salah satu moda transportasi yang paling efisien saat ini.
Anda mungkin salah satu warga yang menganjurkan teman atau kerabat
anda untuk menggunakan aplikasi ojek daring. “Udah Goj*k/Gr*b aja,”
adalah ungkapan yang saya rasa paling kental dilontarkan apabila teman atau
kerabat anda menanyakan bagaimana cara untuk menuju suatu tempat. Berbeda
halnya dengan 10-15 tahun lalu, dimana ketika anda di posisi sebagai pihak yang
dimintai petunjuk.
“Nah, elu ntar naik bus XX ya sampe di sini. Terus turun lampu
merah mi bakso, nyebrang dikit aja. Terus naik mikrolet biru sampe depan
gapura, dari situ naik mikrolet merah sedikit sampe gang YY. Bayar 2.000 aja,
deket gitu. Abis itu jalan yak”
Meh...
“Predator” Bagi Angkutan Kota
Secara fungsi, apabila tidak mengindahkan peraturan yang
mengatakan bahwa sepeda motor bukanlah angkutan penumpang, ojek ini dapat
diklasifikasikan sebagai angkutan umum non trayek. Sifatnya yang fleksibel dan
tidak terkekang oleh rute, membuatnya memiliki sifat seperti taksi dan bus
carter, dan angkutan umum non trayek lainnya. Dengan kondisi ini, jelas ojek
memiliki keunggulan dibandingkan angkutan kota dalam trayek dari segi rute
karena bersifat point to point ketimbang sifat pool to pool milik
angkutan kota. Di era serba cepat seperti sekarang, mana ada sih yang mau
menghabiskan waktu berjam-jam di jalan?
Masalahnya (saya sebut masalah meskipun juga merupakan
keuntungan), guna menarik minat konsumen, operator ojek daring kerap memberikan
promo berupa potongan tarif yang luar biasa. Dua pemain besar ojek daring ini
seakan-akan tidak pernah kehabisan promo. Bukan sekali atau dua kali saya
mendapatkan promo yang dapat membuat saya berpindah dari satu tempat ke tempat
lain secara gratis. Yak, G-R-A-T-I-S saudara-saudara!
Meskipun saat ini promo yang dimaksud sudah tidak lagi semasif
beberapa saat yang lalu, model Sharing Economy
yang dianut kedua operator ini memang tanpa disadari menurunkan “harga keekonomisan” dari ojek di
masa lalu. Untuk tarif per km saja, kedua operator hanya mematok Rp 2.200 - Rp 3.300
per km yang
didasarkan pada jam sibuk. Tarif ini pun belum termasuk potongan tarif yang
dibonuskan dari masing-masing operator. Singkat cerita, tarif ojek daring saat
ini berada di posisi yang membahayakan bagi kelangsungan angkutan kota di DKI
Jakarta dan sekitarnya.
Perbandingan tarif Angkutan Kota dan Ojek Daring tahun 2018 |
Mengapa membahayakan? Sebab, peran dari ojek
sendiri sekarang mengalami pergeseran. Dari awalnya sebagai angkutan lingkungan
pengumpan menuju jalur transportasi terdekat, kini ojek daring berperan menjadi
angkutan “dalam kota” yang juga ikut bersaing di jalur-jalur yang dilayani
angkutan kota. Dengan komparasi total tarif yang mungkin tidak terlalu jauh dan
kemudahan yang ditawarkan ojek daring, kedua faktor ini menjadikan ojek daring
ancaman serius bagi angkutan kota.
Angkutan kota non BRT seperti mikrolet dan bus
sedang pun berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Stigma masyarakat yang
mengasosiasikan angkutan kota sebagai angkutan yang tidak nyaman dan tidak
dapat diandalkan masih terpatri dalam-dalam. Memang, pada beberapa rute, DKI
Jakarta sudah menciptakan sistem baru berupa Jak Lingko yang mengintegrasikan pembayaran antara Transjakarta
dan beberapa rute angkutan kota non Transjakarta. Namun saya masih merasa
bahwa Jak Lingko masih cenderung asing bagi masyarakat selain juga karena masih
banyak rute yang belum tergabung dalam Jak Lingko, khususnya rute angkutan yang
berada di luar area DKI Jakarta.
Kita pun juga tahu, bahwa kebanyakan angkutan
kota di DKI Jakarta (selain yang tergabung dalam Jak Lingko) masih milik perorangan,
yang mana sistem yang diterapkan adalah sistem setoran. Pendapatan sopir jelas
sangat bergantung dari jumlah penumpang hari itu. Semakin sedikit jumlah
penumpang yang naik, maka semakin sedikit pula pendapatan yang didapatkan.
Lambat laun, kondisi ini juga mempengaruhi jumlah armada yang hilir mudik
karena demand dari angkutan kota juga mengalami penurunan (simak obrolan
saya dengan salah satu sopir angkot M06A dalam Setoran).
Pada akhirnya, ojek yang dahulu dipandang
sebelah mata, kini menjadi raksasa baru di transportasi ibu kota menggantikan
keberadaan angkutan kota yang kalah bersaing.
Mengembalikan Segmentasi Ojek Daring-Angkutan
Kota
Apabila berpatokan pada kondisi ideal perkotaan
dimana masyarakat seharusnya bergantung pada angkutan umum sebagai moda
transportasi utama, mungkin kondisi saat ini masih dirasa kurang ideal. Menggantungkan
mobilitas masyarakat kepada ojek daring, jelas merupakan kemunduran
perkembangan kota yang mana trennya saat ini menuju kota yang berbasis angkutan
umum.
Opsi Moda Angkutan |
Ojek daring dalam hal transportasi penumpang
jelas memilki banyak kekurangan. Pertama dari segi penggunaan ruang jalan.
Meskipun dimensinya kecil, namun apabila diakumulasikan dalam jumlah besar,
sepeda motor justru memakan ruang
jalan lebih banyak ketimbang bus berukuran besar. Yang kedua, dari segi
lingkungan karena gas buang kendaraan bermotor akan semakin bertambah dengan
semakin banyaknya kendaraan. Serta yang ketiga dari segi keselamatan penumpang karena
sepeda motor sendiri memiliki tingkat keselamatan paling
rendah dibanding kendaraan lainnya. Masih banyak lain
hal-hal yang sebenarnya menjadi kekurangan sepeda motor apabila menjadi moda
transportasi yang digantungkan oleh masyarakat kota.
Oleh karena itu, gagasan pemerintah untuk
mengeluarkan regulasi tarif bawah dan atas ojek daring, menurut saya merupakan
gagasan yang cukup aplikatif untuk mengembalikan segmentasi angkutan kota dan
ojek daring yang hilang karena penurunan harga keekonomisan, di samping
menjamin kesejahteraan pengemudi. Peraturan yang berlaku mulai 1 Mei 2019 ini
nantinya akan menambah komponen Biaya Jasa Minimal sebesar Rp 8.000 - 10.000
(Jabodetabek) untuk 4 km pertama. Ingat, tarif ini merupakan besaran uang yang
akan diterima pengemudi, belum termasuk 20% biaya yang dikenakan oleh operator.
Alhasil, akan ada kenaikan tarif sebesar 30-40%
dari tarif biasa yang dibebankan pelanggan ojek daring. Dampaknya? Harga
keekonomisan ojek daring akan kembali ke segmen tarif yang berbeda dengan
angkutan kota.
Regulasi Tarif Batas Bawah dan Atas Ojek Daring mulai 1 Mei 2019
|
Angkutan kota jelas tidak dapat mengalahkan
efisiensi dari ojek daring yang bersifat point to point. Namun dengan
tarif yang lebih murah setelah dilakukan penerapan regulasi tarif batas bawah
dan atas ojek daring, ditambah jangkauan yang lebih luas, angkutan umum jelas
memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan ojek daring. Semakin tingginya
tarif ojek pun membuat masyarakat menjadi semakin selektif dalam memilih rute
perjalanan, salah satunya mengurangi pemakaian ojek daring hingga sebatas
angkutan jarak pendek dan pengumpan ke angkutan kota terdekat. Pada akhirnya,
segmentasi angkutan di DKI Jakarta akan menjadi seperti ilustrasi ini:
Segmentasi Antara Angkutan Kota - Ojek Daring - Taksi/Taksi Daring |
***
Ojek daring tentu untuk saat ini tidak dapat
dipisahkan dari mobilitas perkotaan. Terlebih lagi dengan kondisi lalu lintas
saat ini yang semakin semrawut, keberadaan ojek daring jelas sangat membantu.
Namun, kita juga tidak boleh lupa bahwa angkutan kota yang sudah ada perlu
mendapat perhatian serius karena kota yang semakin berkembang akan juga memerlukan
angkutan kota untuk terus berkembang.
Upaya DKI Jakarta mengintegrasikan pembayaran
angkutan kota melalui Jak Lingko pun patut diapresiasi. Setidaknya, masyarakat
memiliki opsi untuk bermobilitas dengan biaya yang flat sesuai ketentuan yang
berlaku. Akan tetapi, keberadaan Jak Lingko sebagai ekosistem baru transportasi
di DKI Jakarta tidak akan berhasil apabila kebiasaan-kebiasaan buruk angkutan
kota masih belum ditinggalkan.
Diharapkan, dengan kembalinya segmentasi antar angkutan ini, angkutan massal akan kembali lagi menjadi opsi utama masyarakat dalam bermobilitas. Hingga pada akhirnya, lalu lintas kota akan semakin "ramah" terhadap penggunanya. Kita lihat saja~
0 comments