Salah satu momen salim paling akbar, paling
gegap gempita, dan paling raya adalah Lebaran. Sebelum mencicipi hidangan
yang tersedia bersenda gurau dengan saudara-saudara atau tetangga, orang tua pasti
langsung menyuruh untuk salim terlebih dahulu. “Heh, ayo sana salim dulu!” Sementara
itu, kerabat orang tua atau tetangga sudah menyiapkan punggung tangan untuk ditempeli
jidat saya dengan beragam pertanyaan yang sudah disiapkan.
Saya pun juga sudah membawa kopekan jawaban dari pertanyaan yang mungkin ditanyakan. Hahaha tidak semudah itu, Bambank
Saya pun juga sudah membawa kopekan jawaban dari pertanyaan yang mungkin ditanyakan. Hahaha tidak semudah itu, Bambank
Prosesi
salim ketika Lebaran ini pun terkadang menjadi momen yang paling merepotkan,
pasalnya yaaa karena memang saya selalu memposisikan diri sebagai juru eksekusi
deretan kue Lebaran. Selain harus bergulat dengan deretan toples kue Lebaran,
saya punya prinsip bahwa kue lebaran ini memiliki keistimewaan dibanding kue
lainnya, yakni harus habis hingga serbuk-serbuknya. Apalagi kue putri salju
favorit saya.
Masalah timbul ketika ada kerabat yang datang
terlambat.
Karena salim ini adalah kegiatan mandatori, maka harus sesegera
mungkin dilaksanakan. Biasanya untuk mempersingkat waktu, saya langsung
mengelap tangan dengan apapun yang ada di sekitar saya. Baju, celana,
syukur-syukur ada tissue.
Namun sial bagi orang yang saya salimi karena turut “menikmati”
sisa-sisa serbuk-serbuk kue yang lengket di tangan saya. Saya pun juga ikut
sial, karena kenikmatan kue lebaran yang sedang saya nikmati jadi anjlok karena
“gumpalan” serbuk-serbuk kue yang sudah susah-susah saya kumpulkan terpaksa
saya bersihkan.
***
Selain simbol penghormatan, salim pun juga
identik dengan kegiatan keagamaan dan silaturahmi. Meskipun hanya sekadar
berjabat tangan tanpa menempelkan kening di punggung tangan, kegiatan
salim ini dimaknai sebagai cara untuk mempererat rasa persaudaraan umat. Salah
satu momen yang (juga) paling akbar adalah ketika shalat jumat di masjid dekat
rumah saya.
Sebelum azan, biasanya jamaah akan melaksanakan
salat sunnah terlebih dahulu. Sesaat setelah mengakhiri salat, jamaah langsung
akan bersalaman dengan jamaah lain. Bagi penganut paham minimalis, maka target
salim adalah jamaah yang berada di kanan-kiri. Namun bagi jamaah yang menganut paham
“The More The Merrier”, jumlah jamaah yang disalami bisa mencakup hampir
seluruh area sajadah. Detilnya sih seperti ini kira-kira.
Hebatnya masjid saya, salim ini dilakukan bukan hanya kepada orang
yang dikenal saja, namun kepada siapapun asalkan masih berada di jangkauan.
Saya yang ketika Jumatan sering menundukkan kepala dan memandangi sajadah
secara khidmat, tetap dicolek lututnya untuk diajak untuk salim.
Saya mengamati, ada satu kebiasaan unik yang selalu saya
perhatikan di salim orang Indonesia. Biasanya setelah saling bersalaman, masing-masing pihak akan secara
otomatis menempelkan tangannya ke dada. Namun tidak menempelkan seluruh
permukaan telapak tangan seperti layaknya timnas menyanyikan lagu kebangsaan,
hanya ujung-ujung jari yang menempel di dada. Seperti memasukkan sesuatu ke
dalam dada. Saya menyebutnya “memasukkan keberkahan ke dalam jiwa”.
Gestur penting dalam salim selain menempelkan jari sehabis salim |
Entah mengapa, kebiasaan ini terus berlanjut hingga sekarang. Saya yang selalu membatin kepada diri "Lu ngapain sih nempel-nempelin ke dada?" pun tidak kuasa menahan ayunan tangan saya untuk menempel di dada sehabis bersalaman. Tidak tahu, rasanya seperti ada yang kurang.
Masih dari kisah salim di masjid dekat rumah saya. Sebagai informasi, masjid dekat rumah saya ini merupakan masjid yang cukup ramai dengan bocah karena memang lokasinya yang berdekatan dengan sekolah. Pernah suatu saat ketika salat Jumat saya duduk di samping seorang bocah, sebut saja Boni. Boni yang tidak saya kenal ini, sepanjang khutbah selalu merunduk ke sajadah. Melihat perawakannya yang cukup gempal seperti Russel di film “UP”, saya pun kagum dengan elastisitas Boni ini yang mampu mencium sajadah dalam posisi bersila.
Masih dari kisah salim di masjid dekat rumah saya. Sebagai informasi, masjid dekat rumah saya ini merupakan masjid yang cukup ramai dengan bocah karena memang lokasinya yang berdekatan dengan sekolah. Pernah suatu saat ketika salat Jumat saya duduk di samping seorang bocah, sebut saja Boni. Boni yang tidak saya kenal ini, sepanjang khutbah selalu merunduk ke sajadah. Melihat perawakannya yang cukup gempal seperti Russel di film “UP”, saya pun kagum dengan elastisitas Boni ini yang mampu mencium sajadah dalam posisi bersila.
Di dalam benak, saya mengira Boni ini tertidur. Eh tapi kok tidur
badannya bergoyang-goyang aneh? Ternyata…
BONI DENGAN KHIDMATNYA SEDANG MENGGIGIT-GIGIT
KUKU JEMPOL KAKINYA!
Bajilak!
Sangat jarang saya menemukan bocah yang senang mempertemukan
antara mulut dengan kaki. Terakhir kali saya menemukan fenomena aneh ini adalah
ketika saya SD. Teman SD saya yang unik ini senang melakukan kebiasaan menjilat
telapak kakinya. TELAPAK KAKI. Ia pun bahkan pernah mengajak saya melakukan kebiasaan “unik”
ini.
“Asin, loh. Enak,” katanya
masih dengan tatapan penuh harap agar saya mengikuti kebiasaannya.
Kembali ke Boni. Karena mengingat teman SD yang
mengajak saya melakukan kebiasaan nestapa unik ini, saya memalingkan
muka dari Boni. Biarlah Boni asyik dengan aktivitas dan kreativitasnya dengan
jempol kakinya.
Salat Jumat pun berlangsung dengan saya yang
masih bersebelahan dengan Boni. Setelah salat Jumat berakhir, saya pun
mengikuti doa-doa yang dilantunkan imam. Tiba-tiba ada yang mencolek saya.
Si Boni mengajak bersalaman
Teringat jutaan kuman bercampur liur yang
berpindah secara abnormal dari mulut dan kaki Boni ke jemari yang digunakannya untuk memosisikan
jempol kakinya ke posisi ideal. Agak ragu untuk menerima uluran tangan si Boni.
Batin saya berontak
Si Boni tetap menyodorkan tangannya kendati saya
belum menyambut ajakannya. Pada akhirnya saya pun luluh. Saya sambut uluran tangan si Boni. Ia
pun menyalami saya dengan menempelkan keningnya ke punggung tangan saya.
Sepulang dari masjid, fokus pertama saya adalah sabun.
Saya tertegun. Tidak
terasa secara otomatis ujung jari tangan kanan saya menempel di dada.
Sepulang dari masjid, fokus pertama saya adalah sabun.
0 comments