Hidup sebagai masyarakat yang bercokol di luar batas administratif
DKI Jakarta namun sebagian besar aktivitas berada di DKI Jakarta membuat
keberadaan sebuah moda angkutan yang dapat diandalkan untuk menuju pusat kota
akan sangat membantu mobilitas saya. Syukurlah, perusahaan daerah yang
berkonsentrasi pada pelayanan transportasi di Jakarta beberapa tahun terakhir
sudah berani menjangkau daerah pinggiran Jakarta hingga melampaui batas
administrasi. Namun kebingungan melanda ketika kaki sudah menjejakkan titik
pemberhentian terakhir sebelum tiba di rumah. Dari sini, naik apa ya?
Apabila mengasosiasikan mobilitas warga di dalam sebuah kota
sebagai alur distribusi barang, maka sebaik-baiknya distribusi barang adalah
barang tersebut mampu sampai ke tangan konsumen dengan kondisi baik dan cepat.
Ketiadaan model distribusi yang memadai justru akan menjadi penghambat
berkembangnya perusahaan.
Sebagai contoh, perusahaan Padu berfokus pada produksi Jus Pandan.
Proses produksi dan distribusi berjalan dengan lancar hingga tahap
distribusi agen tingkat akhir. Namun dikarenakan distribusi barang dari
agen ke toko ritel tidak terkoordinasi dengan baik dikarenakan m, maka produk
tersebut gagal sampai ke tangan konsumen. Perusahaan pun merugi, lalu kolaps.
Lalu karena perusahaan Padu bangkrut, maka terjadilah perang dunia.
Hahaha lebay
Inilah yang disebut dengan Last Mile pada sebuah produksi. Sebuah
langkah akhir yang mungkin terlihat sepele, namun pada hakikatnya memiliki
derajat yang tidak kalah penting dengan tahapan-tahapan produksi dan distribusi
lainnya. Perusahaan yang sudah jor-joran membuat berbagai inovasi serta riset,
didukung dengan peralatan produksi yang canggih dan mumpuni; pada akhirnya akan
kalah dengan produk yang mampu menjangkau konsumen.
Hmmm, masih bingung apa hubungannya sama transportasi publik?
Untuk itu, yuk kita kenalan sama Mile bersaudara.
***
Firsto dan Lasto Mile merupakan kembar bersaudara yang mengetahui
seluk beluk mobilitas ibukota. Keduanya merupakan anak dari pasangan Bapak Chamo
Mile dan Ibu Sem Mile. Wawancara dilakukan setelah sebelumnya Firsto menolak
untuk membeberkan informasi. Untung saja, Lasto yang memiliki ketulusan hati
paripurna, bersikeras untuk memberitahukan hal ini (memang baik betul Last Mile
ini). Mau tidak mau Firsto pun mengikuti kehendak kembarannya.
Oom Padu (P) : Halo
Firsto! Halo Lasto! Saya Oom Padu dari situs Padu Padan Kata, bisa dijelaskan
kah apa sih First dan Last Mile (F/L Mile) dalam transportasi itu?
Firsto (F) : [Menggaruk-garuk
kepala yang sebenarnya tidak gatal sambil malas-malasan]
Lasto (L) : Oh
iya maaf Oom, abang saya memang sedang tidak enak badan, kemarin begadang main
pabji. Jadi kita ini gampangnya adalah tahap awal atau akhir dari mobilitas
orang-orang. Nah terus, orang-orang kan banyak tuh ya yang naik kendaraan umum,
tapi kebanyakan bingung pas udah mau sampai tujuan. Dari situ gimana ya caranya
ke tempat tujuan?
P : Oh iya, sama. Tadi
saya juga bingung, abis turun dari Transjak kesininya gimana ya. Nah terus
masalahnya apa sih yang biasanya ada?
F : [Menggaruk-garuk
ketiak yang basah karena keringat]
L : HEH
GARUK-GARUK KETEK! [Menepuk Firsto yang masih asyik hingga Firsto sedikit
ngambek] Nah iya. Tentu aja nggak semua titik pemberhentian pas tepat plek
di tujuan akhir yang diinginkan. Bisa saja lokasi tujuan berada 500 meter, 750
meter, atau bahkan 2 km. Contohnya rumah kami yang jarak terdekat dengan titik
pemberhentian bisa 2.1 kilo.
[Lasto nampak berdiskusi sejenak dengan Firsto. Setelahnya,
Firsto mulai bisa ditenangkan]
L : Nah,
dengan kondisi kayak gitu, maka perlu lah disediakan sarana untuk mewadahi
mobilitas masyarakat di mil akhir atau awal perjalanan mereka. Hmmm, contohnya
kayak….
F : [Sambil
mengupil] Kayak ini loh mas, kayak trotoar yang gede-gede dan nyaman. Terus
ada jalur sepeda buat pengguna transportasi umum yang kadang-kadang suka bawa
sepeda atau skuter listrik ngiuuuuuuu [Firsto menirukan suara pesawat]
[Oom
padu menatap Lasto dengan tatapan bingung, Lasto memberikan kode tidak usah
dipedulikan]
P : Ooh
gitu toh [manggut-manggut]. Nah lanjut lagi ya, terus dalam kasus
transportasi umum nih, kenapa sih penting buat diidentifikasi F/L Mile ini?
L
: Gini Oom, kita ini sangat erat kaitannya dengan kemudahan
orang-orang untuk menjangkau transportasi umum. Kalau awal atau akhir
perjalanan kita saja ujung-ujungnya sulit dan ga nyaman, mendingan gausah
dipake kan ya Oom?
F : [Masih
mengupil, terlihat gumpalan besar upil keluar dari hidung Firsto] Nah
iya betul tuhhh. Contohnya ya kasus perusahaan Padu yang memproduksi Jus Pandan
itu tuh Oom. Kan dia bangkrut karena gagal meraih pasar. Nah, kalo diibaratin
transportasi, yaa semakin gampang orang mengakses transportasi publik itu, maka
semakin banyak yang minat. Malah khawatirnya kegagalan kita menyediakan
fasilitas penunjang perjalanan F/L Mile ini bisa berpeluang menghambat
perkembangan transportasi publik di kota.
[Firsto
mencoba ingin bertanya, namun sepertinya agak ragu]
F : Oom,
lagian ngapain sih orang jualan Jus Pandan?
P : Hehehe
Oom juga gatau. Ngasal aja tadi [Membetulkan kerah].
Nah pertanyaan selanjutnya nih buat kalian. Kan kalau di literatur-literatur
kebanyakan perjalanan F/L Mile seringkali diasosiasikan sebagai
aktivitas yang sifatnya non-motorized, apakah kondisi yang sama juga
dapat diterapkan di Indonesia?
F : [Berbisik
kepada Lasto] Asosiasi itu apaan sih?
L : [Menghiraukan
Firsto] Hmmm iya sih Oom, kami menyadari bahwa nggak selamanya apa yang
kita baca dari literatur-literatur luar dapat diaplikasikan di Indonesia.
Lagipula kami juga sadar bahwa faktor kebiasaan itu bukan faktor yang bisa
disingkirkan begitu aja dari sebuah perencanaan. Misalnya nih Oom, kemarin kan
orang-orang Indonesia sempat tuh dinobatkan sebagai masyarakat yang paling
malas berjalan kaki di dunia. Nah terus… [Melirik ke arah First]
F : …Gak
bisa lah kita langsung plek blek mengadopsi standar-standar yang ada di
barat. Misalnya terkait jarak antar titik pemberhentian, maka jarak antar titik
pemberhentian disesuaikan dengan radius antara jangkauan rata-rata masyarakat
Indonesia.
L : Betul
tuh. Atau bisa juga membuat rute ekstra yang menyisir area blank spot dari
jangkauan berjalan rata-rata masyarakat. Yaa opsi ini agak sulit sih memang,
karena setidaknya perlu membuat analisis-analisis lain seperti misalnya 4 Step Travel Model. Nanti kita jelasin om
kapan-kapan tentang 4 step ini.
F : [Menyeruput
Kopi Luwak yang nikmat nggak bikin kembung] Selain itu ada lagi sih Oom…
P : Oh
ya? Boleh dikasih tahu kah?
F : Hmm
iya, jadi menurut kami pula, kebiasaan masyarakat yang masih bergantung pada
kendaraan pribadi juga harus diakomodasi dalam penyediaan sarana untuk
menunjang F/L Mile ini nih. Misalnya [Firsto
bersendawa, ternyata ia kembung]
F : ….Aduh
maaf perut saya kembung. Masyarakat yang mau berangkat menuju titik
keberangkatan angkutan dengan kendaraan pribadi dapat disediakan tempat parkir
atau area drop-off yang memadai di samping dengan menyediakan sarana
yang cukup bagi masyarakat non-motorized. Tentunya ke depan, seiring
dengan berbagai kebijakan pengetatan penggunaan kendaraan pribadi, harapannya
jumlah masyarakat non-motorized semakin bertambah juga, Oom.
P : [Menggeleng-geleng sambil terpukau] Hmmm
sepertinya sudah cukup nih menurut Oom. Ada kata-kata terakhir ga dari kalian?
L : [Sambil
menyeruput Teh Pucuk Harum, rasa teh terbaik ada di pucuknya] Yaaa,
meskipun mungkin kita terlihat hanya sebagian kecil dari berjuta-juta kilometer
perjalanan masyarakat kota tiap harinya, kita ini tetap merupakan bagian dari
perjalanan masyarakat harian ibukota, Oom. Jadi jangan dianggap sepele hanya
karena kita dianggap bukan aktor utama dari penyediaan transportasi
publik.
F : Iya
Oom, kelihatannya itu saja. Sepakat saya sama Lasto.
P : Wah
sebuah diskusi yang menarik. Terima kasih banyak atas waktunya.
***
Wawancara diakhiri dengan foto bersama. Memang tidak menarik dan
tidak cukup berisi saya rasa. Tapi tidak apa-apa, semoga bisa memberikan
pencerahan tentang pentingnya perjalanan first
dan last mile dalam transportasi
publik.
Ngomong-ngomong, bingung
kenapa Firsto bisa cepat berubah? Saya juga ga tau. Ya sudah diterima saja ya.
0 comments